Selasa, 01 Desember 2009

MENGUNGKAP TABIR DI BALIK MAKNA


MENGUNGKAP TABIR DI BALIK MAKNA

Oleh Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

“Dengan bahasa, manusia keluar dari dunia insting
ke dunia refleksi dan makna”.

A. Pengantar
Perbincangan tentang makna (meaning) sebagaimana judul di atas sesungguhnya sangat menarik andai menggunakan pendekatan filsafat tafsir atau hermeneutika, baik yang klasik maupun kontemporer. Namun demikian, tidak berarti pendekatan linguistik tidak dapat dipakai. Lebih-lebih ketika di dalam linguistik muncul sebuah cabang ilmu pengetahuan yang secara khusus membahas makna, yakni semantik (semantics).

Judul di atas setidaknya menyiratkan 3 (tiga) pertanyaan mendasar: (1) apa yang disebut makna, (2) bagaimana memperoleh makna, dan (3) siapa yang berhak memberi makna. Secara ringkas berikut diuraikan masing-masing pertanyaan tersebut kendati tidak berurutan.

Di antara para ahli bahasa (linguis) tidak terdapat kesepakatan kapan sesungguhnya manusia mulai membincangkan persoalan makna secara ilmiah dan akademik. Kesepakatan yang ada adalah istilah “makna” itu sendiri merupakan persoalan yang membingungkan. Kesepakatan yang lain adalah dari makna pula, semua bentuk pemahaman dan kesalahpahaman berawal. Pendapat yang agak ekstrem mengatakan bahwa perbincangan makna sudah ada sejak bahasa pertama kali muncul. Rumitnya lagi, pertanyaan kapan pertama kali bahasa muncul juga tidak dapat dijawab secara seragam. Ada juga yang merujuk ke al-Qur’an (1: 31) untuk menjelaskan kelahiran bahasa, yakni ketika Allah swt mengajar pada Adam segala nama-nama (al-asma) ketika Adam turun (muncul) di muka bumi. Keberhasilan Adam memberi nama-nama benda dianggap sebagai peristiwa linguistik pertama dalam sejarah manusia, dan karenanya dipandang luar biasa. Sebab, dengan demikian manusia (Adam) berbeda secara hakiki dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Mungkin karena banyaknya ketidaksepakatan mengenai persoalan kebahasaan ini pula yang mengakibatkan perdebatan mengenai bahasa dengan berbagai relung dan aspeknya tidak pernah berhenti, bahkan mengakibatkan pula bahasa memperoleh perhatian beragam ilmu pengetahuan, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, neurologi, geologi, filsafat, teologi, komunikasi, seni, dan bahkan politik selama beberapa dekade terakhir. Tak terhindarkan interdisciplinary linguistics juga semakin semarak di lembaga-lembaga akademik dan pengembang ilmu pengetahuan.

Setiap ahli pun memberikan definisi tentang makna sesuai selera dan argumentasi masing-masing. Menurut Ogden dan Richards (1972: 186-187) setidaknya terdapat 22 (dua puluh dua) batasan atau definisi mengenai makna, sekaligus menggambarkan betapa ragamnya batasan tentang makna.

Lazimnya, untuk memahami makna sebuah kata orang membuka kamus, sebab di dalam kamus terdapat makna leksikal. Persoalannya adalah apakah orang selalu membawa kamus ketika dia pergi atau membuka kamus ketika sedang berkomunikasi. Lebih dari itu dalam kehidupan sehari-hari orang sulit menggunakan makna leksikal, sebab makna sebuah kata sering bergeser jika berada dalam satuan kalimat dan dalam situasi dan konteks sosial serta kultural tertentu. Bahkan, menurut sosiolinguistik, dalam relasi dan interaksi sosial, penggunaan makna sosial jauh lebih dominan daripada makna leksikal. Dengan menggunakan makna leksikal saja, pada masyarakat tertentu, orang akan menemui banyak kendala dalam berinteraksi sosial.

Sekadar ilustrasi, dalam masyarakat Jawa, kata mboten tidak selalu berarti penolakan dan sebaliknya kata inggih juga tidak selalu berarti penerimaan. Jika seorang bertamu dan oleh tuan rumah ditawari minuman atau makanan, dia akan mengatakan mboten atau sampun, walau sebenarnya dia haus dan lapar. Sebab, mengatakan inggih dianggap rakus. Kalau orang memaknai kata mboten dan sampun tersebut hanya secara leksikal, maka akan terjadi disharmoni komunikasi. Contoh lain, seorang gadis Jawa yang dilamar pria tidak serta merta menyatakan inggih sebagai tanda setuju dan mau diperistri, tetapi bersikap diam. Sebaliknya, kalau menolak si gadis akan mengekspresikannya dengan menangis. Singkatnya, dalam masyarakat Jawa menyatakan keinginan secara ekspresif dianggap tidak lazim, sikap yang bertolak belakang dengan masyarakat modern (baca: Barat) pada umumnya.

Selain itu, makna kata bisa lebih dari satu dan berdimensi luas. Itu sebabnya, orang sering tidak puas dengan makna leksikal saja sebagaimana makna dalam kamus. Hal-hal ini muncul jika orang bertemu atau berhadapan dengan idiom, gaya bahasa, metafora, peribahasa, dan ungkapan lokal kultural dan sebagainya.

B. Bagaimana Semantik Memandang Makna?
Setidaknya terdapat dua pendekatan mengenai makna, yakni pendekatan analitik atau referensial dan pendekatan operasional. Pendekatan analitik mencari makna dengan cara menguraikannya atas segmen-segmen utama, sedangkan pendekatan operasional mengkaji kata dalam penggunaannya. Misalnya, kata istri, dari pendekatan analitik dapat diuraikan menjadi: perempuan, telah bersuami, mungkin telah beranak, manusia, lemah lembut, pendamping suami, berambut panjang dan sebagainya. Sementara dengan pendekatan operasional, kata istri dilihat dari kemungkinan kemunculannya dalam kalimat sebagai berikut:
(1) Amir telah beristri
(2) Istri Amir telah melahirkan
(3) Banyak istri bekerja di luar negeri
(4) Pak Haji beristri tiga
(5) Kawan saya mencari istri lagi.

Tokoh terkenal dalam pendekatan operasional adalah filsuf bahasa kenamaan Wittgenstein yang menyatakan bahwa untuk menentukan tepat tidaknya makna sebuah kata dapat digunakan tes substitusi. Misalnya, apakah kata sebab sama maknanya dengan kata karena. Untuk itu, dicoba dengan tes, misalnya:
- Santi sakit karena kehujanan
- Santi sakit sebab kehujanan.
Tampak jelas bahwa baik kata karena maupun sebab dapat digunakan dalam kedua kalimat tersebut dengan makna yang sama.

Selain dua pendekatan tersebut, pendekatan makna dapat dilihat pula dari hubungan-hubungan fungsi yang berbeda di dalam bahasa. Nida (1975: 22), misalnya, membedakannya pendekatan ekstensional (extensional) dan pendekatan intensional (intensional). Pendekatan ekstensional memusatkan perhatian pada penggunaan kata di dalam konteks, dan sering merujuk pada keseluruhan, kejadian, abstraksi atau reaksi pembicara terhadap satuan-satuan. Misalnya, ketika seseorang melihat kendaraan bertabrakan, dia segera teriak “Ada kecelakaan”. Dengan menggunakan tes substitusi, kata kecelakaan memiliki padanan makna dengan kata tabrakan.

Sedangkan pendekatan intensional memusatkan perhatian pada struktur-struktur konseptual yang berhubungan dengan unit-unit linguistik tertentu dan meramalkan bagaimana unit-unit tersebut dapat digunakan dalam usaha memaknakan acuan tertentu. Untuk mencari makna kata, pendekatan intensional didasarkan pada prosedur mengontraskan (mencari perbedaannya) dan membandingkan (mencari persamaannya). Dalam perspektif fenomenologi, selain mendefinisikan mengontraskan dan membandingkan memang merupakan upaya memahami realitas.

C. Bagaimana Filsafat Tafsir (Hermeneutika) Memandang Makna?
Terkait dengan pemaknaan, dalam kajian hermeneutika terdapat dua aliran besar yang saling berhadapan, yakni intensionalisme dan Hirschian. Intensioanalisme yang diawali sejak hermeneutika romantisis dengan tokohnya Schleiermacher (1768-1834) yang dikenal pula sebagai Bapak hermeneutika modern dan diteruskan oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911) dengan hermeneutika metodisnya, Edmund Husserl (1889-1938) dengan hermeneutika fenomenologisnya, sampai Martin Heidegger (1889- 1976) dengan hermeneutika dialektisnya. Pokok pikiran hermeneutika intensional ini adalah bahwa makna adalah maksud atau instensi produsernya. Dengan kata lain, makna kata sesungguhnya telah ada di balik kata itu sendiri. Makna telah menanti, dan tinggal ditemukan oleh penafsirnya. Adalah tugas pembaca untuk mencari makna itu. “Behind a word, there exists the meaning”, begitu kira-kira ungkapan para hermeneut intensionalisme itu. Karena itu, untuk memahami makna kata, kalimat atau bahkan teks harus ditelusur dari maksud produsernya. Sebab, asumsinya hanya produser itu sendiri orang yang paling tahu apa maksud kata yang diucapkan atau ditulis.

Hermeneutika intensionalisme demikian memperoleh tantangan cukup keras sejak Hans-Georg Gadamer (1900- 2002) mengajukan pemikiran sangat berbeda. Makna, menurut Gadamer, bukan terletak pada instensi produsernya, melainkan pembacanya itu sendiri. Makna itu belum ada ketika sebuah kata diucapkan atau ditulis, dan segera muncul ketika kata itu didengarkan atau dibaca. “In front of a word, there exists a meaning (or even meanings)”, begitu kira-kira ungkap para hermeneut Gadamerian. Gagasan Gadamer diteruskan oleh Jurgen Habermas (L: 1929) dengan hermeneutika kritisnya, Paul Ricoeur (L: 1913) dan Jacques Derrida (L: 1930) dengan hermeneutika dekonstruksionisnya.

Dalam sejarah perkembangan hermeneutika, ide Gadamer memperoleh dukungan semakin meluas seiring dengan kemunculan diskursus postmodernisme pada 1970-an sebagai fenomena budaya. Terminologi postmodernisme itu sendiri menunjuk pada “post-strukturalisme” (1960-an) di Perancis. Sebagai sebuah aliran filsafat, postmodernisme adalah gelombang cara berpikir yang sepintas dapat disebut “sesudah” filsafat modern dengan tokoh-tokohnya antara lain seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, Nietzche, Richard Roty, Umberto Eco dan sebagainya. Postmodernisme memandang bahwa sistem-sistem, prinsip-prinsip, metode-metode, ide-ide yang pasti, sahih dan rasional yang menjadi ciri khas filsafat modern telah rontok dan tidak berlaku lagi dan telah ketinggalan zaman. Seperti diketahui pula filsafat modern adalah cetusan kebudayaan rasionalisme Barat. Postmodernisme memproklamasikan bahwa peradaban rasionalisme Barat telah rontok seiring dengan berkembangnya peradaban baru yang mendobrak bentuk-bentuk kemapanan di segala bidang kehidupan manusia.

Postmodernisme adalah gelombang filsafat kritis, atau lebih tepatnya filsafat “tidak” Maksudnya, postmodernisme memproklamasikan tidak-sistem, tidak-konstruksi budaya, tidak-keseragaman, tidak-aneka paket-paket, atau pola-pola mati mengenai bidang-bidang kehidupan-kehidupan. Lebih dari itu, postmodernisme mengecam keras segala bentuk ketunggalan , termasuk di dalamnya aneka bentuk pemaknaan tunggal atas sebuah kata, kalimat atau bahkan teks.

Postmodernisme dengn sendirinya menyangkal origin. Artinya, postmodernisme menolak suatu realitas di balik fenomena, realitas sumber, realitas terakhir. Dengan demikian, untuk memperoleh makna sebuah kata, kalimat atau teks tidak diperlukan lagi maksud original-nya. Misalnya, untuk memperoleh makna sajak Chairil Anwar yang terkenal “Aku”, seseorang tidak mungkin menghubungi Chairil Anwar karena dia telah meninggal dunia. Lagi pula, andai teks puisi itu sekarang dibaca sebenarnya tidak lagi untuk masyarakat atau generasi saat puisi diciptakan, tetapi untuk generasi saat ini.

Bagi postmodernisme, every author is a dead author. Menurut Derrida, ketika sebuah teks selesai ditulis saat itu pula berakhirnya teks itu dan dimulainya makna baru. (that is the end of a text and the beginning of writing). Dengan kata lain, teks sebagai kristalisasi dari maksud origin penulisnya sudah tidak berlaku lagi begitu teks memperoleh pembaca. Tetapi mulai suatu penulisan dan pemahaman-pemahaman baru sesuai konteks yang tidak lagi dibantu oleh maksud-maksud original-nya. Dan pada saat itu pula pembaca baru sebuah teks mulai, tentu dengan makna yang baru.

Postmodernisme juga menolak paham unity. Bagi postmodernisme, apa yang kita lihat, rasakan, pandang, mengerti, pikirkan dan lain-lain tidak pernah merupakan suatu eksistensi singular, integral dan uniter. Realitas selalu tidak tunggal, tetapi plural, kompleks dan belum selesai. Misalnya, apa yang disebut dengan terorisme tentu tidak dapat dimaknai dari satu aspek saja. Pemahaman dan pemaknaan atas sebuah realitas harus dilakukan secara komprehensif dari a part ke a whole dan sebaliknya. Artinya, untuk memahami bagian dari sebuah realitas harus dilihat secara keseluruhan (a whole) dan sebaliknya pula untuk memahami keseluruhan realitas harus dimulai dari bagian-bagian (a part). Karenanya, untuk memahami Amrozi misalnya, harus dilihat kehadirannya secara utuh (pikiran, latar belakang kehidupan, pendidikan, keluarga, pikiran, cengengesannya, dan sebagainya).

D. Penutup
Tampaknya memang sulit memberikan batasan tentang makna, apalagi melalui pendekatan filsafat sebagaimana diuraikan di atas. Para ahli memberikan batasan tentang makna sesuai keinginan dan interest akademiknya masing-masing. Tentu ini bukan hal yang mengherankan sebab makna kata dan kalimat atau teks adalah milik pemakai bahasa. Karena pemakai bahasa bersifat dinamis, maka makna kata pun sewaktu-waktu dapat berubah dan bahkan diperluas sesuai kebutuhan. Seiring dengan perkembangan pemikiran filsafat modern, cara memahami dan memperoleh makna realitas pun juga mengalami perubahan dan perkembangan. Makna kata yang tidak tepat dan sesuai dengan kebutuhan hidup modern diganti dan diperluas dengan makna baru.. Membuat batasan tentang makna secara seragam pun sesungguhnya dapat dipersoalkan. Perbedaan bukan barang haram dalam khasanah ilmu pengetahuan dan sebuah keniscayaan. Menurut hemat saya, yang sangat penting bukan mencari definisi atau batasan tentang makna secara seragam, melainkan bagaimana memaknai setiap realitas untuk menciptakan shared meaning dan shared perspectives untuk memenuhi kebutuhan manusia. Apa artinya, makna tunggal tetapi tidak terjadi kesepahaman di antara pengguna bahasa.
___________

2 komentar:

  1. Siddik: Menurut beberapa buku yang saya baca bahasa itu bisa dimanipulasi sesuai dengan kepentingan seseorang. Menurut bapak apa dengan manipulasi bahasa bisa mengubah makna bahasa itu sendiri? Terima kasih.

    BalasHapus
  2. Kaitannya dengan kajian Al-Qur'an pak, menurut teori, tidak ada yang dapat menjelaskan teks (nash) Al-Qur'an sesuatu dengan maksud (makna) hakikatnya. jika ada penafsiran, maka ia hanya penafsiran yang sesungguhnya tidak dapat mengakomodir seluruh makna kandungan suatu teks (ayat) Al-Qur'an, demikian juga terjemahan, hanyalah terjemahan. sementara Al-Qur'an tetap dalam keagungannya (al-Karim). dalam teori itu pula, bahwa manusia dapat memahami Al-Qur'an, jika ia memahami bahasanya (bahasa Arab), sehingga ada kelompok Ulama yang mengharamkan penerjemahan Al-Qur'an (karena dianggap sebagai aktifitas mengubah Al-Qur'an) dan lebih menganjurkan untuk mengajarkan bahasa Arab kepada masyarakat, agar mereka dapat mengerti dengan sendirinya.
    ini kan, berarti pemahaman dengan makna hakiki sebenarnya dapat diperoleh manusia dalam pikiran mereka, namun tidak dapat diungkapkan lewat bahasa tulis, seperti terjemahan atau tafsir.
    saya masih bingung .....
    menurut prof bagaimana ????

    BalasHapus