Minggu, 29 November 2009

Manfaat Hermeneutika



Hermeneutika, Apa Manfaatnya?
Oleh Mudjia Rahardjo

Suatu kali saya diundang untuk memberikan kuliah umum di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Tema yang diberikan untuk disampaikan adalah seputar hermeneutika. Saya menyambut gembira undangan tersebut, selain karena tema itu sedang menjadi salah satu tema sentral dalam diskusi-diskusi ilmiah seputar filsafat ilmu tafsir dekade terakhir ini, sehingga seolah-olah hermeneutika lahir kembali, juga karena saya ingin berbagi pengalaman karena perspektif yang saya gunakan dalam disertasi saya adalah hermeneutika. Berbagi pengalaman yang saya maksudkan adalah bagaimana saya menggunakan perspektif hermeneutika dalam praktiknya untuk menganalisis teks. Sebab, selama ini diskusi tentang hermeneutika pada umumnya berhenti pada dataran filsafat, mulai dari yang paling klasik sampai yang paling kontemporer. Padahal, selain sebagai cabang ilmu filsafat, khususnya filsafat tafsir, hermeneutika juga sebagai metode penelitian.
Diskusi berlangsung sangat menarik dan banyak sekali pertanyaan yang disampaikan kepada saya. Saya juga memperoleh banyak pelajaran dari pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan peserta kuliah umum, walau ada beberapa pertanyaan yang mereka jawab sendiri. Di luar dugaan saya, ada beberapa pertanyaan sangat berbobot, sehingga saya terpaksa “recall my memory” ketika kuliah di program doktor dulu di mana hermeneutika saya pelajari sebagai matakuliah penunjang disertasi. Satu di antara pertanyaan tersebut adalah apa manfaat praktis hermeneutika dalam kehidupan sosial saat ini.
Pembaca!
Menurut saya, mempelajari hermeneutika di tengah-tengah kompleksitas persoslan kehidupan masyarakat saat ini sangat penting. Dari beberapa kemungkinan pelajaran yang bisa dipetik dari kajian hermeneutika adalah salah satu yang paling penting adalah kesadaran bahwa upaya menafsirkan, memberi makna, untuk kemudian memahami, bukan merupakan sebuah proses sederhana. Terdapat beberapa kaidah yang dijadikan pedoman. Kaidah pertama, bahwa untuk sampai pada pemahaman, dibutuhkan keterlibatan dan atau partisipasi. Dengan demikian, seseorang yang berusaha memahami, harus menghayati dirinya sebagai instrumen yang peka dalam proses pemahaman.
Kaidah kedua, bahwa dalam setiap usaha menafsirkan, tidak bisa dihindari adanya “akibat ikutan” dari partisipasi dan latar belakang penafsir. Karena itu, merupakan sesuatu yang mustahil untuk mengharapkan suatu tafsir tunggal atas wacana maupun realitas. Lebih-lebih di era demokratisasi sekarang ini, di mana setiap orang atau anggota masyarakat dan juga kelompok ingin menujukkan otoritas masing-masing, niscaya ada keanekaragaman tafsir terhadap wacana dan realitas. Di rezim otoriter, tafsir tunggal atas realitas sangat mungkin terjadi dan biasanya itu untuk kepentingan penguasa. Untuk kasus Indonesia, masih ingat bagaimana tafsir tunggal atas Pancasila menjadi proyek raksasa penguasa di mana pemerintah melalui BP7 merupakan satu-satunya institusi yang paling berhak dan syah menafsirkan makna Pancasila?.
Kaidah ketiga, upaya penafsiran harus dilihat sebagai proses pendekatan (approximation) kepada makna sejati. Ini dilakukan dengan senantiasa merenungkan dan mengadili setiap makna berdasarkan lingkaran pemahaman, bahwa setiap bagian tidak berbenturan dengan keseluruhan. Ketidak-sesuaian antara bagian dengan bagian, dan antara bagian dengan keseluruhan, merupakan penanda kekurang-tepatan proses dan hasil penafsiran.
Kaidah keempat, walaupun ada wilayah perbedaan karena partisipasi dan latar belakang penafsir, niscaya ada pula wilayah yang mempertemukan antar penafsir. Bidang irisan ini yang bisa disebut pemahaman bersama (shared understanding). Semakin besar wilayah pemahan bersama ini, maka semakin tampak apa yang sehari-hari disebut saling pengertian (mutual understanding) yang menjadi dasar bagi lahirnya cross-cutting affiliation.
Akan halnya bila masih tampak ada perbedaan pendapat, kita pun masih punya “benteng pertahanan” berupa kesadaran bahwa keragaman pemahaman merupakan sesuatu yang wajar dari hasil penafsiran. Dengan kesadaran ini, kita pun harus senantiasa berdamai dengan perbedaan. Ini yang kemudian menjadi salah satu landasan pembentukan masyarakat madani, yang relasi antar manusianya dibangun di atas tiga kaidah saling terkait: bebas, berbeda, tetapi setara (freedom, different, but equal).
Kita akui bahwa pada dasarnya manusia adalah merdeka, yang karena itu sangat wajar kalau saling berbeda. Selanjutnya, walaupun ada perbedaan pada dasarnya manusia adalah setara. Keseragaman --- dalam batas tertentu --- bisa dicurigai sebagai akibat ketiadaan kemerdekaan. Keseragaman --- juga dalam batas tertentu --- bisa dicurigai sebagai akibat adanya relasi sosial yang tidak setara, sehingga satu orang atau kelompok bisa memaksakan kehendak kepada orang lain atau kelompok lain.
Akhirnya, bila dikehendaki agar relasi antar manusia berlangsung dalam semangat tenggang-rasa, maka upaya mewujudkan tenggang-makna dengan inti menyadari kemiripan sekaligus perbedaan pemahaman, harus menjadi prioritas pertama upaya pembinaan kehidupan sosial. Inilah salah satu pelajaran sosial terpenting dari hermeneutika. Selamat mencoba!

__________

Antara “Cicak dan Buaya”


Antara “Cicak dan Buaya”:

Sebuah Analisis Sosiolinguistik


Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si.


Beberapa minggu terakhir ini, tidak ada wacana yang lebih menarik perhatian publik sedemikan luas dibanding dengan “gegeran” antara ketiga lembaga penegak hukum, yatitu POLRI, Kejaksaan Agung, dan KPK sebelum disusul persoalan skandal Bank Century yang juga tidak kalah serunya. Sadar atau tidak, perhatian kita tersandra oleh “gegeran” tersebut yang tidak hanya menyangkut persoalan substantif “siapa mau menghabisi siapa”, dan “mengapa itu terjadi”, tetapi juga menyangkut persoalan bahasa (istilah). Adalah Kabareskrim Komisaris Jenderal Susno Duadji yang mengawali memproduksi istilah “Cicak dan Buaya” untuk membandingkan besarnya kekuasaan dan kekuatan lembaga POLRI dan KPK. Karena istilah tersebut mengundang kontroversi yang begitu meluas di masyarakat, bahkan sempat dibahas di acara sidang Komisi III DPR RI dan Kapolri, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri sempat meminta maaf kepada masyarakat atas keteledoran penggunaan istilah tersebut oleh anak buahnya dan berjanji akan memberi sangsi kepada Susno Duadji.

Ketika dikonfirmasi apa maksud penggunaan istilah “Cicak dan Buaya” tersebut, Susno Duadji dengan tegas menolak bahwa istilah tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan arti dan keberadaan KPK --- yang demikian kecil dan lemah bagaikan cicak --- dibandingkan dengan POLRI --- yang demikian besar dan kuat bagaikan buaya. Karena itu, di benak Susno pertandingan antara POLRI dan KPK sungguh tidak seimbang. Dengan kata lain, POLRI bukan tandingannya KPK.

Apapun yang dikatakan Susno tampaknya sudah tidak digubris masyarakat, termasuk ketika dia bersumpah di depan Komisi III DPR dengan ucapan “ lillahi taalloh” --- mestinya membacanya ´’lillahi ta’ala ‘ --- tampaknya Susno tidak paham apa arti “lillahi ta’ala --- yang tidak tepat pengunaannya, bahwa dia bersumpah tidak menerima dana Rp. 1 milyar dari Anggodo. Bukankah ajaran sosiolingusitik telah mengajarkan bahwa kesalahan ucapan dan ketidaktepatan penggunaan kata juga menggambarkan ketidaktahuan maknanya? Karena publik sudah terlanjur tidak mempercayai Susno, maka jawaban Susno malah bisa dipelesetkan bahwa benar dia tidak menerima dana Rp 1 milyar, tetapi malah lebih banyak dari itu. Nah, jadi ruwet kan?

Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kasus ini? Menggunakan perspektif Bourdieu bahwa makna kata bukan hanya terletak pada kata itu sendiri, tetapi juga pada siapa yang menggunakannnya, maka persoalan menjadi sangat jelas bahwa Susno tidak sadar bahwa dia bukan sembarang siapa. Dia adalah perwira tinggi yang bekerja di lembaga kepolisian negeri ini dengan jabatan sangat bergengsi, yakni Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Andai saja Susno bukan perwira tinggi kepolisian, misalnya dia tukang becak --- kebetulan ada tetangga saya yang bernama Susno (tapi tidak ada Duadji—nya) dan bekerja sebagai tukang becak, saya yakin istilah “Cicak dan Buaya” tidak mengundang kontroversi sedemikian hebat.

Susno tidak sadar juga bahwa istilah bukan sekadar rangkaian huruf yang kemudian membentuk kata dan kata akan menjadi frase untuk selanjutnya menjadi kalimat, tetapi ia adalah representasi sebuah realitas, baik tunggal maupun majemuk -- konkrit maupun abstrak. Untuk yang kesekian kalinya Susno juga masih belum sadar bahwa merevisi ungkapan adalah hal yang tidak mungkin dengan serta merta mengubah maknanya untuk menjadi “yang dikehendaki”. Menurut filsuf bahasa kenamaan “Kata yang sudah terlanjur diucapkan tidak akan pernah bisa ditarik oleh 7 (tujuh) kuda sekalipun”. Dan, ini terbukti dari kasus Susno Duadji.

Susno juga tidak mau belajar dari beberapa kasus di mana tokoh politik dan pejabat publik jatuh dan bangun lewat bahasa yang diucapkan. Gus Dur jatuh--- salah satu sebabnya--- karena kesembronoannya berbahasa. Bupati Kampar jatuh didemo masyarakat karena mengatakan “Guru bukan level nya untuk berdialog dengan saya. Saya adalah bupati. Kalian hanya guru”. Kapolri Bambang Hendarso terpaksa meminta maaf kepada keluarga Nurkholis Madjid (alm) karena menyebut inisial NM adalah orang yang juga memperoleh kucuran dana liar dari Menteri Kehutanan yang saat ini ditangani Polri. Taufik Kemas menjadi bulan-bulanan masyarakat karena banyaknya kesalahan mengucapkan kata dan menempatkannya ketika melantik SBY-Boediono menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Presiden Iran Ahmadinejad (?) dikecam Israel --- bahkan akan dibunuh – karena pernah mengucapkan negara Israel mesti dihapus dari peta bumi. Sebab, di mata Ahmadinejad Israel merupakan biang kerok konflik Timur Tengah yang sudah berlangsung sekian lama.

Secara substantif pembelaan Susno melalui ungkapn-ungkapannya tidak cukup kuat membuktikan bahwa dia tidak terlibat kasus upaya pengkredilan KPK. Sebab, dari sisi korespondensi dan koherensi, ucapan Susno tidak terkontrol. Seseorang bisa menyembunyikan rapat-rapat perilaku dan identitas sosialnya (gelar, agama, kekayaan, strata sosial dsb.), tetapi pasti tidak akan mampu menyembunyikan rapat-rapat strata dan cara berbahasanya. Begitu juga Susno Duadji. Melalui ketidakkoherensi dan ketidakkorespondensi wacananya serta kesalahan mengucapkan “lillahi ta’ala” dengan “lillahi ta’aloh”, dengan gamblang diperoleh gambaran secara deskriptif siapa Susno Duadji sesungguhnya! Citra POLRI secara kelembagaan --- yang sejatinya sangat diperlukan masyarakat --- tercoreng oleh ulah Susno Duadji. Pendapat anda!

BAHASA, MEDIA, DAN KUASA

BAHASA, MEDIA, DAN KUASA:
Fenomenologi Hegemoni Politik di Abad Informasi

Mudjia Rahardjo

“Words do not mean what people mean”

Sajian pendek ini dimaksudkan sebagai pengantar diskusi gerakan cerdas media. Pusat perhatian diberikan pada relasi antara bahasa, media dan kuasa. Sekilas di antara ketiganya tidak ada hubungan yang berarti. Padahal, ketiga ranah tersebut merupakan fenomena menarik dan penting untuk memahami mekanisme kerja hegemoni politik di abad informasi seperti sekarang ini. Abad informasi sendiri hanya dipahami sebagai suatu masa yang ditandai oleh banjir informasi baik tulis, pandang, maupun dengar. Dikaitkan dengan sebuah rezim, bahasa merupakan alat pengokohan kekuasaan dan media merupakan wahana beroperasinya kekuasaan.

Dunia Batin, Dunia Makna

Tidak seperti binatang yang mendapati lingkungan sebagai rangsang pemicu tanggapan biologis belaka, sebagai makhluk pengguna lambang (homo symbolicum) secara khas manusia menandai aneka benda dan peristiwa secara simbolik, dan sekaligus memaknai simbol-simbol sebagai seolah benda dan kejadian sebenarnya. Karena itu, hanya setelah melakukan penafsiran terhadap benda, peristiwa, dan simbol, manusia kemudian memberikan tanggapan terhadapnya. Selalu ada proses pemaknaan yang menjembatani rangsang mentah (distal stimuli) dengan tindakan manusia.

Di antara sejumlah simbol yang berkembang dan dikembangkan manusia, bahasa merupakan simbol yang paling universal digunakan, serta paling generatif untuk merepresentasi benda, kejadian, dan bahkan gagasan. Menimbang secara serius kenyataan tersebut, tradisi fenomenologi menegaskan bahwa setiap makna tersusun secara sosial (socially reconstructed). Suatu makna tak melekat pada realitas per se, tetapi dipertalikan oleh manusia-manusia berdasarkan takrif dan tafsir yang mereka berikan (Berger dan Luckmann, 1967). Bahkan menurut para ahli komunikasi makna kata sangat subjektif dan tidak pernah tunggal. “Words do mean what people mean”.

Makna diciptakan sesuai kepentingan penggunanya. Kita lihat saja bagaimana persaingan makna antara pemerintah dan masyarakat yang tidak setuju dengan kenaikan harga BBM. Pemerintah memandang kenaikan harga BBM merupakan pilihan paling akhir dan diakui tidak populis, tetapi harus dilakukan karena terjadi kenaikan harga minyak dunia. Sementara masyarakat yang tidak setuju menganggap ada jalan lain untuk menghadapi kenaikan harga minyak dunia tersebut. Bagaimana pula dengan BLT? Pemerintah menganggap BLT sebagai bentuk kompensasi atas kenaikan BBM agar jumlah orang miskin tidak meningkat dan oleh karenanya BLT harus jalan. Sedangkan bagi yang tidak setuju menganggap BLT tidak efektif dan menjadikan rakyat sebagai orang malas, peminta-minta, dan malah menjadi pengemis. Ada yang usul bantuan jangan diberikan dalam bentuk tunai, tetapi dalam bentuk padat karya. Toh akhirnya siapa pula yang memenangkan pertarungan makna tersebut?

Lazim diterima, ketika menghadapi situasi tertentu, manusia mendefinisikan situasi tersebut dan secara tak terelakkan terbelenggu oleh definisi yang telah dibuat. Thomas dan Thomas (1928) merumuskan kaidah ini dalam bentuk teorema: "If men define situations as real, they are real in their consequences". Ini menegaskan fakta bahwa manusia tak hanya menanggapi situasi objektif, tetapi juga mengembangkan makna subjektif situasi itu bagi dirinya. Karena itu, bukan situasi objektif yang mempengaruhi tindakan manusia, melainkan definisi manusia itu terhadap situasi.

Bukan keberadaan hantu yang membuat seseorang takut, tetapi kepercayaan seseorang itu sendiri terhadap keberadaan hantu. Jadi terlepas dari apakah hantu itu ada atau tidak ada, bila anda meyakininya ada, maka anda pun akan takut karena keyakinan anda sendiri. Pun bila sekelompok masyarakat meyakini bahwa Islam memicu terorisme, maka kelompok masyarakat ini pun akan memberikan tanggapan secara negatif terhadap Islam. Tanggapan negatif menyeruak bukan karena situasinya nyata, tetapi karena telah didefinisikan nyata.

Menurut Lofland dan Lofland (1984), realitas makna memiliki beberapa ciri penting, antara lain kerentanan dan kepirantian. Karena bersifat rentan dan mudah rusak, makna beserta simbolnya diperlakukan secara hati-hati oleh komunitas pendukungnya, dan dipertahankan bila ada serangan terhadapnya. Makna dan simbolnya juga bermatra kepirantian. Karena itu, kelompok masyarakat yang diuntungkan akan menerapkan politik permaknaan untuk mempertahankan dan mengesahkan kedudukannya. Sebaliknya, orang yang dirugikan akan menggunakan makna tandingan untuk mengakomodasi diri dalam memberikan perlawanan. Bisa disimpulkan bahwa dengan mengendalikan dunia makna manusia, maka jalan untuk menguasai dunia batin manusia lain pun menjadi terbuka.

Piranti Kepentingan dan Kekuasaan

Mudah dipahami, pemikiran Antonio Gramsci tentang kekuasaan hegemonik terjembatani oleh uraian ringkas tentang makna beserta implikasinya. Menurut Gramsci, ada dua cara pemegang kuasa manusia terhadap manusia lain, yaitu: kekuasaan koersif, dan kekuasaan hegemonik. Pada cara pertama, pengendalian sosial dilakukan melalui kekuatan fisik-eksternal, misalnya hukuman, sanksi, embargo dan sejenisnya. Sedangkan jenis kedua, pengendalian sosial dilakukan secara simbolik-internal dengan membentuk keyakinan-keyakinan atas norma-norma tertentu (Femia, 1981).

Dalam pemegang kuasa hegemonik, masyarakat digiring untuk menyikapi permasalahan sosial politik menurut acuan pemegang kuasa hegemonik. Tingkat pemegang kuasa hegemonik ditakar berdasarkan proporsi khalayak sasaran yang secara sukarela mau menggunakan kerangka acuan pemegang kuasa hegemonik. Semakin banyak khalayak sasaran yang sepakat dengan ukuran-ukuran pemegang kuasa, berarti semakin besar kekuasaan hegemonik pemegang kuasa atas khalayak sasaran.

Reaksi terhadap dua jenis pengendalian itu pun berbeda. Pada dominasi dan koersi, kepatuhan timbul karena ketakutan mendapat hukuman atau sanksi yang diberikan oleh pemegang kuasa. Sedangkan pada pemegang kuasa hegemonik, kepatuhan timbul karena kelompok pemegang kuasa dipercaya sebagai yang memiliki keabsahan. Pada hegemoni, kepatuhan datang karena legitimasi, walau bersifat semu (superficial-legitimate).

Media Massa, Aparat Ideologis Kekuasaan

Menurut Przeclawski (1982), media massa, khususnya televisi cenderung memproyeksikan citra dunia (image of the world) satu sisi, yang kalaupun tidak sama sekali salah, paling tinggi setengah-benar. Ini tidak bisa dihindari karena tayangan televisi, siaran radio, terbitan media cetak, dan belakangan juga sajian informasi internet, niscaya merupakan sajian tersunting. Sisi tunggal citra dunia dalam media massa demikian, sangat rawan terhadap setiap bentuk manipulasi fakta, tidak bisa bebas dari distorsi dan bias para perancangnya. Dalam media massa, citra dunia tampak lebih berkulit putih daripada berkulit warna, tampak lebih Barat ketimbang Timur, lebih berbahasa Inggris ketimbang berwarna, tampak lebih kaya ketimbang miskin, dan -- yang juga berbahaya – tampak lebih serba-boleh ketimbang dunia nyata.
Meski ungkapan “the medium is the message” McLuhan bisa dianggap mengingkari keperkasaan pengaruh kandungan pesan media, ternyata pernyataan ini justru bisa diperluas menjadi “the medium is the ruler”, karena menguasai media massa berarti pula menguasai sekian banyak dunia batin manusia. Media massa, sekarang ini, telah diakui sebagai pilar keempat kekuasaan, di luar tiga pilar dalam trias politica. Tak hanya penguasa daerah yang bisa digoyang oleh media massa, karena kekuasaan kedaulatan negara pun bisa digetarkan oleh media massa. Tidak sedikit tokoh atau pemimpin dunia jatuh dan bangun karena kekuatan media. Beberapa contoh bisa disebutkan di sini: Bill Clinton hampir jatuh dari kursi kepresidenannya karena diketahui oleh media bahwa dia selingkuh dengan pegawai Gedung Putih, Monica Lewinski. Mantan Presiden Rusia, Vladimir Putin, baru-baru ini juga menjadi bulan-bulannan media karena perselingkuhan. Beberapa waktu lalu, Walikota New York terpaksa harus megundurkan diri karena diketahui terlibat skandal seks oleh media. Saat ini Presiden Perancis mencapai tingkat popularitas terendah karena diekspos besar-besar oleh media bahwa dia lebih sibuk mengurusi istri barunya ketimbang mengurusi pemerintahannya. Pun Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi terus merosot citranya karena begitu intensifnya media mengekpos berita kekalahannya pada pemilihan parlemen beberapa waktu lalu. Yahya Zaini pun harus hengkang dari kursi legislatifnya di DPR RI karena ketahuan media telah berbuat mesum dengan seorang artis.

Selain peristiwa kejatuhan para tokoh tersebut, juga banyak tokoh yang naik karena dukungan media. Misalnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden salah satu sebabnya adalah lewat politik pencitraan oleh media. Calon Presiden dari Partai Demokrat, Obama, yang semakin populer juga tidak lepas dari politik pencitraan oleh media yang disebut sebagai cerdas, mewakili multi ras, agama, warna kulit dan sebagainya.

Lazimnya, keperkasaan media massa dalam membentuk opini publik, baik lokal, nasional maupun internasional, dibangun di atas siasat semiotika dan linguistika. Permainan lambang baik visual, verbal, maupun auditori, menjadi teramat penting bagi siapa pun yang hendak membangun hegemoni atas khalayak pembaca dan pemirsa. Politik pencitraan (politics of image) melalui media massa pun telah menjadi menu sehari-hari, baik untuk tujuan penghancuran maupun untuk pemenangan. Dengan demikian, pikiran manusia atau pendapat manusia terhadap manusia lain, pendapat suatu bangsa terhadap bangsa lain telah dikontrol atau digerakkan oleh penggunaan kata-kata dan pemberian makna tertentu lewat media.

Kenyataan tersebut yang semestinya menjadi pusat perhatian para penggiat melek media (media literate) bahwa media massa senantiasa menyajikan realitas yang tersunting (edited reality), yang berbeda sangat tipis dengan realitas yang terekasaya (manufactured reality). Kalaupun media massa menumbuhkan kesadaran, sangat mungkin kesadaran dimaksud berupa kesadaran terekayasa (manufactured consciousness), dan bukan kesadaran sejati (geneuine consciousness).

Meminjam konseptualisasi Althusser, yang memperkenalkan dua jenis aparat kuasa, aparat represif negara (repressive state apparatus) dan aparat ideologis negara (ideological state apparatus), maka tampak jelas bahwa media massa sangat berpeluang untuk menjadi atau dijadikan aparat ideologis negara. Tidak hanya dalam arti aparat negara terhadap warga negara, tetapi juga aparat negara tertentu terhadap negara lain.

Sebagai contoh, Amerika Serikat dengan begitu enaknya melabel negara lain yang tidak sejalan dengan kebijakannya seperti Iran, Korea Utara, Lybia (dulu) sebagai teroris atau negara poros setan. Jika menyimak pidato Presiden George W. Bush di berbagai kesempatan dengan perspektif Content Analysis, akan tampak sangat jelas bahwa “terorisme” dan “teroris” merupakan kosa kata sangat dominan yang diucapkan Bush dan sangat mewarnai panggung politik Amerika Serikat.

Dalam konteks konflik Timur Tengah antara Israel dan Palestina, Amerika Serikat juga menggunakan politik makna yang sangat vulgar. Semua upaya Amerika Serikat untuk membujuk Palestina berunding dengan Israel disebut usulan perdamaian. Sedangkan usulan-usulan Palestina dan negara-negara Arab betatapun realistiknya disebut sebagai ide mentah, tak realistik, tak sesuai dengan kerangka road map dan sebagainya. Apalagi dari kelompok Hamas, semua usulannya disebut sebagai usulan teroris.

Tak pelak, negara adikuasa tersebut mendefinisikan terorisme sesuai dengan kepentingannya. Jika kelompok-kelompok militan Palestian melalukan serangan kepada orang-orang Israel dengan melempar batu (intifada), maka mereka disebut melakukan gerakan terorisme. Sebaliknya, jika tentara Israel membombardir rumah-rumah penduduk Palestina dengan memakan banyak korban mereka disebut melakukan tindakan preventif. Jadi bagi Amerika Serikat, aksi tersembunyi, sporadis dan kecil-kecilan oleh warga Palestina karena ketidakberdayaannya disebut aksi terorisme, sedangkan jika aksi besar-besaran dan terencana oleh mesin militer Israel disebut sebagai tindakan penyelamatan. Melalui taktik politik makna demikian dan didukung oleh media massa, masyarakat luas seolah membenarkan semua tindakan Amerika Serikat, atau setidaknya memberikan simpati. Wal hasil, tidak berlebihan jika media massa sekarang telah diakui sebagai pilar keempat kekuasaan, di luar tiga pilar dalam trias politica, yang disusul dengan massa sebagai kekuatan berikutnya.

___________

Rabu, 25 November 2009

BAHASA DAN TRANSFORMASI SOSIAL

Bahasa dan Transformasi Sosial

Oleh

Mudjia Rahardjo



A. Pengantar

Menyusul kelahiran post-modernisme dan post-strukturalisme dalam filsafat modern, tidak bisa dipungkiri bahwa perbincangan tentang bahasa, lebih-lebih pada satu dasawarsa terakhir, menarik minat banyak kalangan dari berbagai disiplin. Mereka juga mengaitkan bahasa dengan berbagai disiplin atau bidang lainnya, seperti politik, hukum, sosial, budaya, filsafat dan sebagainya. Seakan-akan tidak mau ketinggalan, sekarang kita membicarakan bahasa kaitannya dengan transformasi sosial.
Peminat studi bahasa meyakini bahwa sebagai realitas simbolik, bahasa menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia. Sebab, ia memperlihatkan aspek majemuk yang mencakup aspek psikologis, politis, kultural, biologis, sosial dan sebagainya. Bahasalah yang menjadi pembeda antara manusia dan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi atau sebuah sistem kode atau nilai yang secara sewenang-wenang menunjuk sebuah realitas monolitik, tetapi bahasa adalah suatu kegiatan sosial. Secara sosial ia terikat, dikonstruksi, dan direkonstruksi dalam kondisi khusus dan setting sosial tertentu, ketimbang tertata menurut hukum yang diatur secara ilmiah dan universal (Latif, 1996: 18).

Begitu besar peran bahasa bagi kehidupan manusia, sampai-sampai Confucius pernah mendapatkan pertanyaan, apa yang akan dilakukan seandainya diberi kesempatan memimpin negara. “Membenahi bahasa”, demikian jawaban Confusius singkat. Bahasa menurut filsuf Timur ini bukan sekadar cermin keteraturan berpikir, tetapi bahkan akan menentukan keteraturan dan malah ketidak-teraturan sosial (Rahardjo, 2001: 5).
Namun sebelum berbicara lebih jauh tentang tema tersebut, perlu dipertegas dulu judul tulisan ini. Tema yang diberikan panitia kepada saya adalah Bahasa dan Sastra dalam Konteks Transforamasi Sosial. Agar pembicaraan lebih terfokus, tema tersebut perlu dibatasi pada bahasa dalam transformasi sosial. Saya sengaja tidak memasukkan sastra dalam pembicaraan ini, sebab selain agar terfokus, sastra merupakan bidang tersendiri yang layak untuk dibicarakan tersendiri pula. Terdapat dua kata kunci yang menurut saya perlu diberi konsep yang jelas, yakni bahasa dan transformasi sosial. Bahasa yang dimaksudkan di sini adalah bahasa Indonesia.

Meminjam Sturtevant (1947), Masinambow (2000: 7) mendefinisikan bahasa sebagai “... a system of arbitrary vocal symbols by which members of a social group cooperate and interact.” Dalam definisi tersebut terdapat dua perangkat konsep penting yang dalam sejarah teori linguistik telah mengalami batasan-batasan yang berbeda baik di dalam masing-masing perangkat itu sendiri maupun hubungan antara perangkat pertama dan yang kedua. Perangkat pertama adalah “ system of arbitrary vocal symbols” dan yang kedua adalah “by which members of a social group cooperate and interact”. Perkembangan linguistik modern bersumber dari konsep pemikiran teoritis dan metodologis dari perangkat konsep pertama. Sedangkan perhatian para ahli bahasa pada konsep kedua baru muncul menyusul kelahiran sosiolinguistik, sebagai disiplin baru yang terpisah dari linguistik sekitar pertengahan abad ke-20.

Sedangkan transformasi sosial diartikan sebagai perubahan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan, seperti tata nilai, pranata sosial, wawasan, cara berpikir, atau kebiasaan yang telah lama terjadi di masyarakat dan sebagainya (Dahlan, 1994: 1). Perubahan tersebut ada kalanya sangat mendasar, tetapi bisa juga bersifat umum. Transformasi sosial bukan sekadar perubahan seperti disebutkan di atas, melainkan juga perubahan mutu kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Tulisan ini akan membahas bagaimana kaitan bahasa dengan transformasi (baca: perubahan) sosial.

B. Bahasa dan Transformasi Sosial

Tak seorang dapat menyangkal bahwa sejak diproklamirkan sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia telah mengalami dinamika historis politis yang cukup panjang. Bahasa Indonesia telah berkembang dari bahasa politik untuk menggalang kekuatan mengusir penjajah dan sebagai pernyataan keyakinan dan tekad bangsa Indonesia untuk hidup sebagai sebuah bangsa yang merdeka menjadi bahasa negara yang akhirnya juga terjerat menjadi bahasa penguasa, khususnya Orde Baru. Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia mampu menjadi perantara dan bahasa pergaulan antarsuku dan antardaerah. Bahasa Indonesia juga berkembang seiring dengan lahirnya sastrawan-sastrawan terkemuka di negeri ini, seperti Marah Rusli, Ahdijat Kartamihardja, S. Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar dan sebagainya. Bahasa Indonesia telah menjadi piranti handal para penyair untuk memperkaya kemampuan ekspresif dan imaginatif mereka sehingga melahirkan karya-karya sastra berbobot yang dapat memperkaya khasanah kebudayaan Indonesia. Tak pelak, bahasa Indonesia telah berhasil menjadi bahasa kebudayaan nasional.

Masyarakat terus berubah, pun juga bahasa, sehingga bahasa dan realitas sosial tidak bisa dipisahkan. Karena itu, perubahan bahasa terjadi karena perubahan sosial baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Sebaliknya, perubahan sosial berimplikasi pada perubahan bahasa. Karenanya, bahasa tidak hanya dibentuk dan ditentukan, tetapi juga membentuk dan menentukan realitas sosial. Bahasa bukan sekadar alat untuk mengungkapkan pikiran, tetapi wahana komunikasi umat manusia.
Kehadiran bahasa dalam kehidupan manusia tidak bisa dianggap secara tiba-tiba, tetapi melalui proses sistem kode atau lambang yang disepakati oleh warga suatu masyarakat atau kelompok secara bersama-sama. Karenanya, bahasa juga dianggap berdimensi sosial. Sebab, bahasa merupakan aspek kegiatan kehidupan sosial manusia.
Tidak banyak yang menyadari bahwa perkembangan bahasa—tentu saja termasuk perubahannya---mengungkapkan banyak tentang keadaan masyarakat tempatnya bahasa digunakan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan bahasa memang dapat ditinjau semata-mata dari sisi teknis, misalnya bagaimana menyebarluaskan kosa kata, ejaan, pemenggalan kata dan pola kalimat yang benar. Tetapi dari sisi lain, bahasa dapat ditinjau berkaitan dengan perkembangan dalam masyarakat yang lebih mendasar, misalnya mengenai dinamika perubahan sosial, pembentukan dan pergeseran nilai-nilai sosial, bahkan dalam perubahan politik. Semua yang terjadi di masyarakat terungkap sejelas-jelasnya dalam bahasa. Dengan kata lain, bahasa merupakan cermin paling jelas keadaan masyarakat penggunanya.

Situasi yang terjadi di masyarakat hampir selalu tercermin di dalam praktik berbahasa. Sebab, salah satu peran bahasa adalah untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan-peranan sosial, termasuk peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri (Paina, 2000). Karenanya, situasi yang aman dan damai akan melahirkan simbol-simbol kebahasaan yang mantap dan stabil atau konstan dalam kosa katanya. Sebaliknya, situasi yang bergejolak dan tidak menentu juga akan tercermin dalam ungkapan-ungkapan bahasa yang bersifat ambigu dan makna yang simpang siur. Kesimpangsiuran dan keambiguan makna yang demikian ini merupakan fenomena kebahasaan yang timbul karena adanya gejolak kehidupan di masyarakat.

C. Fenomena Kebahasaan (Indonesia) Pasca-Orde Baru

Pasca-Orde Baru pemerhati bahasa tidak saja masih menyaksikan eufemisme sebagai warisan politik makna Orde Baru, tetapi juga sarkasme dan pelesetan dalam bahasa Indonesia. Melalui eufemisme yang digunakan oleh pejabat resmi pemerintah, penguasa Orde Baru berhasil memainkan simulasi realitas untuk menyembunyikan realitas yang sesungguhnya dan merekayasa realitas sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibedakan lagi antara realitas yang asli dan yang tiruan.

Meminjam ungkapan Latif dan Ibrahim (1996: 36) lewat eufemisme para petinggi negara bukan hanya menyembunyikan atau menciptakan realitas, tetapi juga bersembunyi dari realitas dan perilaku yang sesungguhnya. Selain itu, menurut Muchtar Lubis (1989) bahasa yang eufemistik tidak akan pernah mencapai sasaran dan karenanya eufemisme memiliki paling tidak dua dampak buruk: meniadakan kontrol sosial dan mendidik masyarakat tidak jeli melihat apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

Kini model simulasi realitas tampaknya masih berlangsung. Menurut Suparno (Kompas, 10/10/00), ungkapan-ungkapan seperti “menaikkan harga” yang di masa Orde Baru disebut “penyesuaian harga” saat ini disebut “pengalihan subsidi”, tanpa diketahui subsidi tersebut dialihkan ke mana. Begitu juga kata “sikat” yang terkenal pada masa Orde Baru yang ditujukan kepada lawan-lawan politiknya, kini juga masih sering kita dengar di antara pejabat pemerintah. Malah Presiden Abdurrahman Wahid (ketika itu) dengan enteng menyebut sarjana sebagai “maling” dan anggota DPR sebagai “murid TK”. Kata-kata seperti diamankan, dimintai keterangan, kesalahan administrasi, dana bantuan dan sebagainya pun masih mewarnai praksis berbahasa di masyarakat kita.

Sebagai realitas simbolik, bahasa tidak bisa dipisahkan dari dunia batin pemakainya dan setting sosial politik yang ada. Karenanya, ketika euforia politik melanda bangsa ini akibat terkungkungnya kehidupan sosial-politik selama hampir tiga puluh dua tahun praktik berbahasa pun kini dijiwai oleh ekspresi yang bebas yang tidak lagi mengindahkan tata krama dan santun berbahasa. Akibatnya, penggunaan sarkasme dalam bahasa Indonesia muncul demikian derasnya di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan elit politik. Ungkapan-ungkapan seperti maling, preman politik, biang kerok, Presiden segera dibawa ke Psikiater, Presiden bohong, gak dadi presiden gak pathe’en, Presiden Tak Jewer, negeri seperti keranjang sampah, institusi busuk dan sebagainya muncul di kalangan elit politik negeri ini.

Tak pelak kondisi demikian mengundang reaksi berbagai pihak. Surya (30/6/00) menyebut dalam berbahasa sensibilitas masyarakat terhadap kata-kata terasa sudah di ambang kekhawatiran. Dalam berbahasa orang tidak lagi memikirkan apakah kata yang akan diucapkan menyakiti atau melukai hati orang yang mendengarkannya. Tampaknya orang tidak lagi perduli dengan apa yang diucapkan.

Menurut Eros Jarot, dalam berbahasa banyak yang saat ini ngomong asal-asalan (Kompas, 16/6/00) tanpa memikirkan bagaimana perasaan lawan bicaranya dan dampaknya bagi masyarakat luas ketika kata-kata cacian dan hujatan dilontarkan. Menurut Bachtiar Aly kondisi demikian diperparah lagi oleh media massa, sebagai salah satu pemegang komando berbahasa, dengan memberi contoh buruk berbahasa melalui ungkapan-ungkapan yang tidak santun. Contohnya, ada headline sebuah surat kabar yang berbunyi, “Tommy …Disodomi”. Karenanya, media massa juga berperan sekecil apapun dalam carut-marut persoalan bangsa ini karena turut menyebarkan kata-kata kotor, keras, dan vulgar.

Tampaknya, para elit politik dan politisi kita kurang menyadari bahwa mereka adalah cermin dan panutan masyarakat, termasuk perilaku berbahasanya. Lebih-lebih dalam budaya yang masih paternalistik, perilaku elit akan dengan cepat ditiru oleh masyarakat. Contohnya, ketika Presiden Abdurrahman Wahid (ketika itu) menyebut “gitu saja kok repot”, “biang kerok” dengan cepat dan gampang ungkapan tersebut ditiru oleh warga masyarakat hampir di semua lapisan.

Menurut tokoh post-modernisme Foucault (1972) kendati manusia menguasai bahasa tidak berarti dia bebas mengekspresikan apa saja yang dia kehendaki. Dia mesti berpikir apa dampak yang akan muncul atas ucapannya itu. Lihat saja apa yang terjadi di masyarakat menyusul ucapan Presiden Amerika Serikat George W. Bush bahwa tiga negara Irak, Iran, dan Korea Utara merupakan porosnya setan. Sedangkan Lee Kuan Yew mengatakan di Indonesia teroris berkeliaran dengan bebas.

Di tengah perkembangan wacana dalam bahasa Indonesia yang cenderung berkembang secara paradoksal tersebut, praktik berbahasa Indonesia Pascaorde Baru ditandai pula oleh semaraknya pelesetan, sebagai sebuah fenomena kebahasaan yang lain. Jika eufemisme diucapkan dengan maksud amat halus sehingga mengaburkan makna aslinya dan sarkasme merupakan pengucapan yang dilakukan dengan amat kasar sebagai siasat perlawanan para elit politik, maka pelesetan adalah bentuk perlawanan simbolik melalui permainan kata yang mengundang tawa karena makna kata menjadi konyol.
Misalnya, SDM yang semula merupakan kependekan Sumber Daya Manusia menjadi Semua Dari Makasar. Pelesetan ini muncul ketika Presiden B.J. Habibie waktu itu mengganti beberapa pejabat negara dengan orang-orang kelahiran Makasar, seperti A.A. Baramuli, Andi M. Ghalib, Tanri Abeng. KKN yang resminya bermakna Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi Kanan Kiri Nuntun, yang sangat jelas diarahkan kepada siapa.

Demikian pula UNS yang artinya Universitas Negeri Surakarta menjadi Untuk Ngadili Soeharto, IDT yang semula adalah Inpres Desa Tertinggal menjadi Ikilo Duwite Teko, SDSB yang resminya singkatan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah dipelesetkan menjadi Soeharto Dalang Segala Bencana dan masih banyak lagi yang lain.
Menurut Ariel Heryanto (1996) pelesetan seperti di atas merupakan siasat untuk mengekspresikan kejengkelan, ketidakpercayaan, dan frustasi masyarakat terhadap penguasa. Karenanya, pelesetan bukan sekadar permainan kata untuk mengundang tawa dan pelepas kesumpekan sehari-hari, tetapi merupakan akrobatik kata untuk menjungkirbalikkan kebenaran, dan demikian juga kehormatan, dan kuasa. Betapa nama yang atau singkatan resmi penguasa dijungkirbalik menjadi ungkapan yang konyol. Kata kutukan dan umpatan dijungkirbalik menjadi gagah dan terhormat. Tujuannya adalah untuk membela yang tertindas, miskin, dan terhina. Pelesetan dengan demikian merupakan bentuk perlawanan simbolik masyarakat lapis bawah terhadap penguasa yang semena-mena.

Munculnya eufemisme, sarkasme, dan pelesetan dalam praktik berbahasa menunjukkan bahwa praktik berbahasa sangat terkait dengan kondisi kehidupan sosial masyarakat. Tampaknya, setiap zaman memiliki tipe praktik berbahasa sendiri-sendiri yang menggiring kita kepada jalur pemikiran tertentu. Di zaman Orde Lama, misalnya, masyarakat digiring untuk mengobarkan semangat revolusioner untuk melawan penjajah, sehingga praktik berbahasa banyak diwarnai oleh ungkapan-ungkapan yang bernilai revolusioner. Di zaman Orde Baru, yang diklaim sebagai orde pembangunan, masyarakat digiring untuk menjiwai dan ‘terlibat’ dalam praktik pembangunan, sehingga praktik bahasa banyak diwarnai ungkapan-ungkapan yang “beretos pembangunan” dan berbau “teknokratis”.

Orde Baru juga dikenal sebagai rezim yang memonopoli konstruksi, produksi, reproduksi, dan distribusi wacana publik. Akibatnya, kompetisi, interaksi, dan transaksi wacana antara negara dan masyarakat di ruang publik macet, bahkan tidak terjadi. Wacan hokum, misalnya, hanya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan dan sarana normalisasi, legitimasi, dan pengabsahan tindakan dan perilaku penguasa. Bahasa Indonesia tampil dihalus-haluskan, bahkan dikabur-kaburkan maknanya guna menyembunyikan perilaku dan tindakan penguasa. Akibatnya, timbullah fenomena eufemisasi, bombasisasi pada satu sisi, dan pada sisi yang lain timbul ironisasi dan sarkasisasi, bahkan vulgarisasi wacana oleh negara (Saryono, 1999: 13).

Bahasa Indonesia menjadi mandul, sebab masyarakat tidak mampu (berani) mengonstruksi, memproduksi, mereproduksi, atau mendistribusikan wacana alternatif atau setidak-tidaknya wacana kritik dan negasi terhadap wacana negara. Jika terjadi, penguasa pasti memberangus wacana tersebut, sekalipun sesunggguhnya wacana itu menghargai harkat dan martabat bangsa. Ini setidak-tidaknya bia dilihat pada pelarangan edar atas karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang dianggap kekiri-kirian dan juga karya-karya Mochtar Lubis yang sering memberi wacana kritik kepada penguasa.

Tak mengherankan selama tiga puluh dua tahun kekuasaan Orde Baru, wajah bahasa Indonesia menajdi bopeng, sebab penguasa melakukan monopoli dan hegemoni wacana publik. Akibatnya, bahasa menjadi piranti kekuasaan, bukan piranti interaksi manusia yang berjalan alami. Meminjam ungkapan Baudrillard, Saryono (1999: 13) menyatakan penjajahan sesungguhnya bukanlah dengan militer dan birokrasi, melainkan dengan wacana (The real monopoly is never that of technical means but that of speech). Orde Baru telah melakukan penjajahan simbolik lewat bahasa. Ke depan tampaknya kita masih akan menyaksikan wajah bopeng bahasa lewat ungkapan-ungkapan keras, vulgar dan kotor yang diproduksi oleh para elit negeri ini.

D. Penutup

Kajian interdisipliner tentang bahasa tampaknya semakin mendesak untuk digarap secara serius. Permainan politik bahasa gencar menjangkau ufuk terjauh dari cita-rasa dan panorama di ruang publik. Manusia hidup dalam dunia citra. Dengan bahasa, ternyata manusia bukan hanya mampu berpikir dan memahami dunia, tetapi lebih dari itu ia membentuk realitas. Upaya pengendalian makna (baca: hegemoni) realitas bisa dilakukan lewat penguasaan dan manipulasi dunia simbol yang disebut bahasa. Secara praksis, bahasa kita (Indonesia) terus terwarnai (belum mewarnai) dinamika dan panggung politik serta sejarah Indonesia klasik maupun kontemporer. Dengan kata lain, bahasa Indonesia belum mampu menjadi piranti utama transformasi sosial, tetapi masih hanyut oleh transformasi itu sendiri akibat kuatnya hegemoni negara terhadap rakyat di berbagai agenda dan ruang publik.


____________¬