Rabu, 09 Desember 2009

GOMBAL

GOMBAL

Di setiap ma­sya­ra­kat penutur ba­hasa, selalu ada ung­kapan lokal atau prokem lokal yang disebut slank. Makna kata atau ungkapan yang tergolong prokem atau slank sering tidak ditemukan di kamus sehingga orang lain yang bukan penutur asli bahasa itu mengalami kesulitan me­ma­hami maknanya. Dalam bahasa Jawa, misalnya, terdapat banyak prokem, seperti weleh-weleh, ndasmu, deng­kul­mu, gombal dan se­ba­gainya. Bagi bukan pe­nutur bahasa Jawa, apalagi orang asing, kata-kata itu sangat sulit di­pahami maknanya.

Suatu ketika dalam sebuah acara seminar, saya bertemu dengan seorang teman asing, sebut saja Mr. Karen, yang sudah hampir dua tahun tinggal di Yogyakarta. Mr. Karen yang sudah mulai fasih berbahasa Indonesia ini bingung bukan kepalang setiap mendengar kata gombal yang diucapkan orang di sekelilingnya. Di­ban­ding dengan orang asing (baca: Barat) pada umumnya, Mr. Karen ini memang tergolong agak pemalu, mungkin karena ia tinggal di Yogyakarta, se­hingga ia lebih suka berusaha sendiri mencari makna kata yang ia tidak mengerti mak­na­nya melalui kamus ketimbang ber­tanya kepada seorang kawan atau kolega.

Mengapa ia lebih suka mencari sendiri makna kata? Sebab, menurutnya, ketika baru saja tiba di Indonesia, ia per­nah ditipu oleh seorang kawan kenalan barunya ketika ia bertanya apa makna kata gendheng (gila). Si kawannya yang usil itu, menerangkan bahwa gendheng adalah ungkapan santun yang mesti di­ucapkan kepada setiap orang yang lebih tua dan di­hor­mati. Kata gendheng di­go­longkan sama maknanya dengan kata baik dan bagus. Apalagi bagi orang asing yang baru saja tiba di Indonesia, kata gendheng itu wajib di­ucap­kan kepada setiap orang yang ditemui. Mr. Karen yang polos itu menuruti saja anjuran kawan yang beretnis Jawa itu. Suatu saat, Mr. Karen hampir di­tem­pe­leng oleh seorang pengojek ka­rena mengatakan “Terima­kasih. Kamu gendheng sekali pak” . Untung si tukang ojek se­gera me­nyadari bahwa Mr. Karen bukan orang Jawa. Sejak saat itu, ia tidak pernah ber­tanya kepada orang lain makna kata yang ia tidak me­nger­ti.

Pertemuan saya dengan Mr. Karen membuktikan sikapnya yang tidak mau bertanya ke­pada orang lain mengenai arti se­buah ungkapan atau kata yang baginya asing. Dalam obro­lan ringan sambil me­nunggu kedatangan seorang pem­bicara sebuah seminar, kata gombal muncul bebe­rapa kali. Mr. Karen itu pun men­catat tidak kurang dari 16 kali kata gombal itu diucapkan oleh peserta obrolan. Merasa semakin penasaran apa makna kata gombal, Mr. Karen minta ijin keluar dari forum obrolan itu dan menuju perpustakaan universitas yang kebetulan hanya berjarak be­berapa meter saja dari tempat me­ngobrol. Saya bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan Mr. Karen. Ia menuju rak tempat kamus dan ensiklopedi disimpan untuk membuka kamus dan mencari makna kata gombal.

Ketika berada di depan rak kamus dan ensiklopedi, se­orang petugas terlihat meng­ham­pirinya. Petugas per­pus­ta­kaan dengan ramah menyapa dan bertanya apa yang dapat ia bantu. Mr. Karen menjawab bahwa ia perlu kamus bahasa Jawa yang letaknya memang agak jauh dari kamus bahasa Indo­nesia. Dengan terkejut, Mr. Karen menemukan kata gombal di dalam kamus ter­sebut. Tetapi, dia terheran-heran setelah membaca makna kata itu. Gombal diartikan se­bagai “kain lusuh atau lama yang tidak lagi terpakai dan biasanya untuk alat bersih-bersih”.

Mr. Karen tampak semakin bingung apa relevansi makna kata itu dengan konteks obrolan kawan-kawannya tadi atau yang sering di­ucap­kan oleh orang Indonesia, teru­t­a­ma orang Jawa. Sebagai orang yang kebetulan suka meng­kaji fe­nomena kebahasaan dan be­r­­maksud menolong teman asing ini saya menjelaskan arti kata gombal tersebut. Seperti layaknya saya sedang men­je­laskan salah satu materi atau pokok bahasan dalam ma­ta­ku­liah sosiolinguistik, yakni slank, idiom, dan jargon serta­ register, saya me­ngawali penje­lasan dengan mengata­kan bahwa di setiap ma­sya­ra­kat penutur bahasa (speech com­munity) selalu ada ungka­pan bernilai lokal kul­tural yang mak­nanya sering jauh dari makna literal, se­ba­gaimana yang tertulis di kamus.

Dalam masyarakat modern yang berpenutur bahasa Ing­gris pun juga terdapat slank, jargon dan sejenisnya. Karena makna kata atau ung­ka­pan pada hakikatnya adalah hasil kon­vensi di antara ang­gota masyarakat penuturnya, maka setiap anggota penutur ba­hasa juga berhak mencip­ta­kan istilah, jargon atau ung­ka­pan ter­tentu sesuai kemauan me­reka sendiri untuk ke­pen­tingan komunikasi di antara mereka, termasuk kata gom­bal itu. Mr. Karen tampak ter­mangu-mangu dengan pen­je­lasan saya itu dan sepertinya tidak sabar menanti jawaban apa arti kata gombal itu.

Dalam masyarakat Jawa, kata gombal dipakai sebagai ung­kapan penyeru simpulan atau penilaian atas suatu mutu pembicaraan, barang, kinerja, karya dan sebagainya yang dipandang tidak berkualitas, tidak bermutu atau lembek yang tidak sesuai dengan harapan. Karena itu, kalau ada orang yang kinerja, prestasi dan karyanya tidak bagus bisa di­­katakan pula bahwa kinerja, pres­tasi dan karyanya gom­bal. Kalau kita masuk rumah ma­kan yang ke­li­ha­tan­nya bagus dan ternyata menu ma­ka­nannya tidak enak apalagi harganya tinggi, kita juga dapat me­nyebutnya se­ba­gai rumah makan gombal.

Dalam lingkungan kampus, kalau ada mahasiswa yang sikap dan pembicaraannya tidak berkualitas atau tidak ber­mutu bisa juga dikatakan se­bagai gombal. Kalau ada ma­hasiswa yang indeks pres­tasinya (IP) nya 0, 67 karena semua matakuliah yang di­pro­gram tidak lulus kecuali satu ma­takuliah dan itupun nilainya C (belakangan disadari oleh dosen­nya bahwa nilai C itu pun karena keliru memasukkannya karena sambil mengantuk saat me­nuliskan nilai), maka ma­ha­siswa ini pun juga bisa disebut se­bagai gombal kendati se­hari-hari berpakaian necis dengan celana jean dan sepatu ber­kualitas. Mungkin ma­hasiswa demikian lebih gom­bal ketimbang gombal se­hingga menjadi gombal su­wek. Sudah gombal dan ro­bek lagi sehingga tidak ada arti­nya sama sekali.

Tak terkecuali dosen. Kend­ati telah berpendidikan tinggi dan beberapa gelar akademik berjejer di depan dan belakang namanya, se­orang dosen bisa saja disebut se­bagai ….(wah saya tidak berani, he he ), jika ia tidak me­miliki komitmen dan integritas akademik tinggi yang ditunjukkan dengan karya atau tulisan-tulisan ilmiahnya, atau reputasi, kinerjanya.

“Wah demikian ya makna kata gombal ya pak” kata Mr. Karen sambil memegang kamus yang di dalamnya tidak ada penjelasan yang lengkap atas makna kata gombal itu. Saya jawab iya. Dan, karena itu mesti hati-hati mengartikan arti kata. “Terus, bagaimana awal mula kata gombal itu di­pa­kai da siapa yang mengawali menggunakannya pak? tanya Mr. Karen. Nah, kali ini saya sangat bingung menjawabnya. Sebab, pertanyaaan kapan dan di mana sebuah kata atau ung­ka­pan mulai digunakan dan siapa penggunanya meru­pa­kan sa­lah satu pertanyaan sulit da­lam ilmu kebahasaan atau li­ngu­­istik. Ini memerlukan pe­ne­li­tian filologis yang lumayan sulit.

Namun demikian, agar tidak me­­nge­cewakannya, saya jawab begini. “Seingat saya, sejak kecil saya sudah sering men­dengar kata gombal baik di lingkungan keluarga, ma­sya­rakat atau bahkan sekolah”. Di keluarga, nenek saya, mak­lum saya memang diasuh nenek sejak delapan bulan karena ke­buru punya adik lagi, yang da­lam masyarakat Jawa di­sebut kesundulan, nenek saya sering mengatakan saya ini gombal ketika saya me­rumput (Jawa: ngarit) setengah hari hanya memperoleh se­te­ngah keranjang karena saya selalu kalah main balangan (me­lempar sabit ke batas sawah atau galengan) karena me­lesat terlalu jauh sehingga rumput saya diambil yang me­nang. Maklum, saya memang paling kecil di antara teman-teman sepermainan, sehingga saya sering menjadi bahan gun­ji­ngan dan permainan mereka.

Di sekolah saya juga pernah di­katakan gombal oleh guru olahraga karena tim kasti saya kalah telak dengan tim kasti se­kolah desa tetangga. Yang mengherankan waktu itu kekalahan akibat hasil kerja tim yang tidak kompak dan lawan memang tangguh, yang dimarahi dan dikatakan gombal hanya saya. Padahal, saya bukan ketua tim. Kepada ketua tim, guru saya justru memberi semangat dengan mengatakan ”Gak apa-apa sekarang kalah, tetapi lain kali tidak boleh ya”. Karena itu, dalam hati saya mengatakan guru saya ini guru gombal, karena pilih kasih.

Tetapi, Mr. Karen, lanjut saya, di Indonesia ini memang ba­nyak gombal. Dalam dunia pendi­dikan, ada orang mempe­roleh gelar doktor dan bahkan pro­fesor hanya dalam waktu be­be­rapa bulan dengan mem­bayar beberapa juta rupiah. Aneh­nya peminat praktik gom­bal ini bukan dari golongan ma­sya­rakat awam, tapi anggota masyarakat terdidik dan bahkan para pejabat penting di negeri ini. Tanpa merasa malu apalagi salah, usai diwisuda di hotel dan tempat-tempat rekreasi, peserta langsung memasang gelar di depan atau belakang namanya. Be­berapa di antaranya meng­gu­na­kannya untuk kepentingan politik. Mr. Karen juga me­ngang­guk-angguk dengan pen­jelasan saya ini.

Mr. Karen bahkan menam­bah­kan ‘Iya ya, saya membaca koran lokal. Ada orang korupi milyaran dan bahkan trilyunan rupiah dengan enaknya berpesiar di luar negeri dan bahkan dapat menemui presiden di Istana Negara. Tetapi seorang pencuri se­ekor ayam untuk membayar SPP anaknya dan tertangkap ba­sah pemiliknya dihajar sampai ba­bak belur dan dibawa ke kan­tor polisi. Kasihan ya pak” lanjut Mr. Karen lagi.

Sambil tersipu malu, saya men­jawab” Ya memang prak­tik hukum di negeri ini masih gombal pak. Ada perbaikan dari periode pemerintahan se­be­lumnya, tetapi belum signi­fi­kan. Berbeda dengan di ne­geri anda yang sudah mapan” jawab saya sambil menghibur diri. Setelah itu obrolan dengan Mr. Karen berhenti karena pem­­bicara seminar yang di­tunggu telah datang dan Mr. Karen belum sempat meres­pons pernyataan saya.

Sambil bergegas masuk ruang se­minar, dalam batin saya berpikir obro­lan dengan Mr. Karen akan saya tulis dalam kolom GEMA, tabloid UIN Malang. Sebe­lum­masuk ke redaksi GEMA, se­orang kawan sempat membaca ko­lom ini dan berujar,”tentang gom­bal saja kok ditulis seperti ini pak”,! Saya sambil tersenyum dan berlalu.

Selasa, 08 Desember 2009

Antara Terima kasih, Syukron dan Kaifal hal

“Antara Terima kasih, Syukron dan Kaifal hal

Oleh: Mudjia Rahardjo

“Pak, mana jalan menuju Bandara Abd. Rahman Saleh”. Begitu pertanyaan seorang lelaki setengah baya kepada saya ketika saya sedang memarkir mobil di depan sebuah toko buku. Karena saya sering pergi lewat bandara tersebut, tentu saja saya dengan mudah menjawabnya. Lelaki tersebut mendengarkan jawaban saya dengan penuh perhatian, kendati dari raut wajahnya tampak agak panik. Mungkin dia takut terlambat naik pesawat atau karena sebab lain yang saya tidak tahu. Anehnya, setelah medengarkan jawaban saya, lelaki tersebut nylonong begitu saja tanpa mengucapkan “terima kasih”.

Dalam konteks agak berbeda, peristiwa sejenis terjadi pada saya beberapa waktu lalu ketika beberapa mahasiswa menghubungi saya lewat sms (short message services) untuk konsultasi studi. “Pak, ada waktu. kami mo konsultasi, jam brp n di mana?” , begitu bunyi sms yang saya terima. “Ya, ada. Besuk jam 10 di kantor sy. Tlg jgn terlmbt”, begitu jawaban saya melalui sms pula. Anehnya lagi, jawaban saya tersebut tidak memeroleh respons balik, atau setidaknya ucapan “terima kasih”, sehingga saya tidak tahu apakah mereka bisa datang atau tidak pada hari, jam dan tempat yang telah saya tentukan.

Bagi saya yang menarik dari dua peristiwa tersebut bukan pertanyaannya, bukan pula penanyanya, melainkan mengapa mereka tidak mengucapkan “terima kasih”. Dalam kehidupan sehari-hari saya memang jarang mendengarkan ucapan terima kasih di antara penutur bahasa Indonesia, apalagi di kalangan generasi mudanya. Saya lebih sering mendengar ungkapan-ungkapan “thank ya”. Belakangan, tidak jarang terdengar pula ungkapan “tengkayu” di kalangan anak muda.

Tampaknya kita lebih sering mendengar terima kasih diucapkan oleh orang asing (baca: orang Barat atau orang Arab) yang bisa berbahasa Indonesia. Mungkin bagi orang Barat, mereka terpengaruh dengan kata “thank you” atau “thanks” yang begitu sering mereka ucapkan dalam komunikasi sehari-hari di berbagai kesempatan atau kata ‘syukron” bagi orang Arab yang juga begitu sering mereka ucapkan. Di Barat, tidak jarang sopir taksi mengucapkan “thank you” setelah menurunkan penumpang. Sopir taksi di Saudi yang sempat mengantarkan kami dalam beberapa kunjungan juga begitu sering mengucapkan syukron.

Fenomena rendahnya frekuensi penggunaan kata “terima kasih” bagi penutur bahasa Indonesia sempat mengundang pertanyaan seorang kawan Barat yang sudah sangat fasih berbahasa Indonesia dan suka utak atik fenomena bahasa. Dia pernah bertanya kepada saya beberapa pertanyaan. Mengapa orang Indonesia kurang suka mengucapkan terima kasih kepada lawan bicaranya? Apakah bisa dimaknai bahwa orang Indonesia kurang menghargai orang lain yang pernah membantu sekalipun? Apakah mengucapkan terima kasih dianggap terlalu formal sehingga terkesan kaku? Atau, apakah rasa terima kasih tidak perlu diucapkan dan diganti dengan senyum? Bukankah orang Indonesia paling jagoan untuk senyum, seperti sering dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto sehingga dia disebut sebagai “The Smiling General”? Sebab, dalam kondisi apapun Pak Harto selalu tersenyum. Dengan agak menggelitik, kawan saya tersebut mengatakan mungkin orang Indonesia adalah bangsa yang paling banyak tersenyum, sampai-sampai punya banyak hutang pun tetap bisa senyum, tetapi yang paling sedikit mengucapkan terima kasih. Kendati agak tersinggung, saya menyarankan dia untuk melakukan penelitian secara komprehensif tentang fenomena “terima kasih dan senyum”. Mendengar saran saya, orang Barat tersebut akhirnya juga tersenyum.

Lebih lanjut, menurut teman saya tersebut di Indonesia kata terima kasih sering digunakan hanya dalam dua peristiwa, yaitu pada saat pejabat pemerintah mengawali dan mengakhiri pidato. Di awal pidato, seorang pejabat terbiasa mengucapkan “Pada kesempatan ini saya menyampaikan banyak terima kasih atas kehadiran Bapak, Ibu dan Saudara-saudara” dan di akhir pidato disampaikan “Saya menyampaikan terima kasih atas perhatian Bapak, Ibu dan Saudara-saudara sekalian”. Bukankah begitu?, kata teman saya tersebut. Setelah saya merenung, hipotesis kawan saya tersebut memang benar. Oleh karena itu, saya mengiyakannya. Tetapi saya tambah satu lagi kapan kata “terima kasih” sering diucapkan. Apa itu?, tanya teman saya tersebut. Ketika seseorang menerima pinjaman uang dari teman atau bank. Wo !

Pembaca !

Lain “terima kasih”, “thank you” dan “syukron”, lain pula “kaifal hal”. Di antara penutur asli bahasa Arab, selain “syukron” kata “kaifal hal” merupakan kata yang sangat sering mereka ucapkan. Saya memiliki pengalaman sangat menarik. Dalam kunjungan kami ke Saudi Arabia beberapa waktu lalu, kami sempat mampir dan akhirnya bermalam ke keluarga Arab. Seperti tradisi orang Arab pada umumnya ketika menerima tamu, keluarga tersebut menerima kami dengan sangat ramah dan penuh keakraban serta ketulusan. Satu persatu anggota keluarga tersebut menyapa dan memberi salam kepada kami dengan pertanyaan “kaifal hal”. Semakin sore dan menjelang malam tamu yang datang menemui kami semakin banyak hingga jumlahnya mencapai kurang lebih dua puluh orang.

Menariknya, setiap orang mengucapkan “kaifal hal” tidak kurang dari lima kali hanya dalam waktu beberapa saat. Kendati jawaban saya tetap sama, yaitu “khoir” dan sesekali saya sisipkan “alhamdulillah”, pertanyaan “kaifal hal” tetap saja meluncur ketika saling bertatap muka. Dengan jumlah orang yang hadir pada pertemuan itu mencapai dua puluh orang lebih, maka bisa dihitung berapa kali kata” kaifal hal” diulang saat itu. Semula saya mengira bahwa peristiwa itu hanya ragam bahasa pada level individu yang sering disebut dengan istilah idiolek dalam sosiolinguistik, atau saya anggap ritus sosial yang tidak punya makna karena saking seringnya diucapkan. Tetapi ternyata tidak demikian. Setiap orang yang bertemu kami selalu menyapa dengan ‘kaifal hal” beberapa kali. Ketika itu saya teringat teman saya di Tanah Air yang suka menganalisis teks dengan menggunakan pendekatan analisis isi (content analysis) ---yang berparadigma positivistik---yang tesisnya adalah semakin kata sering diulang semakin penting makna kata tersebut.

Tampaknya tesis tersebut tidak tepat dipakai untuk memahami penggunaan kata “kaifal hal” tersebut. Menurut saya, makna pertanyaan “kaifal hal” lebih luas daripada pertanyaan “How are you?”, dan “Apa kabar?” yang sekadar menanyakan keadaan, kesehatan atau kondisi fisik lawan bicara. “Kaifal hal” bisa dimaknai sebagai ungkapan untuk membangun keakraban atau hubungan sosial secara lebih dekat. Selain itu, saya perhatikan pula bahwa penggunaan “kaifal hal” tidak sama antara satu orang ke orang yang lain. Semakin seseorang belum dikenal dalam sebuah kelompok, semakin sering dia ditanya dengan pertanyaan “kaifal hal”. Buktinya, kawan saya yang sudah akrab dengan beberapa anggota keluarga tersebut tidak ditanya “kaifal hal” sesering saya.

Jika penggunaan “kaifal hal” dan “How are you serta ‘Apa kabar” dalam realitasnya tidak sama, maka bagaimana metode comparative analysis yang sering dipakai para pengajar bahasa asing (Arab dan Inggris)--- yang kebetulan menguasai keduanya. Bukankah untuk efektivitas pengajaran bahasa asing, para pengajar sering memadankan bahwa Apa kabar? = How are you?= Kaifal hal?” . Ketika fenomena tersebut di atas saya jelaskan kepada salah seorang teman dosen, dia bertanya jika demikian halnya, maka “terima kasih” tidak sama dengan “thank you” dan tidak sama pula dengan “syukron” apalagi “suwun”. Saya menjawab bahwa secara literal makna kata-kata tersebut sama, tetapi secara kontekstual berbeda. Tampaknya memahami makna kata secara kontekstual lebih efektif untuk membangun harmoni sosial. Selamat mencoba!

Senin, 07 Desember 2009

Ambisi dan Ambisius

Ambisi dan Ambisius

Oleh Mudjia Rahardjo

Berawal dari bisikan kecil seorang mahasiswa yang dialamatkan ke telinga saya ketika menghampiri sekelompok mahasiswa yang baru saja selesai mengikuti kuliah. “Pak, orang itu kok ambisinya gede banget, dan sangat ambisius”, begitu bisikan mahasiswa tersebut. Sambil memandang orang yang dimaksudkan, saya terdiam sejenak seraya berpikir apa sebenarnya makna “ambisi dan ambisius” di benak mahasiswa tersebut, sehingga saya tak memberi respon dan tampak dingin. Mungkin mahasiswa itu bermaksud curhat kepada saya tentang orang tersebut, sehingga dari raut mukanya tampak sedikit kekecewaan atas sikap saya yang dingin.

Tampaknya, kata “ambisi” dan “ambisius” merupakan dua di antara sekian banyak kosakata bahasa Indonesia yang maknanya mengalami salah kaprah. Buktinya, orang akan merasa kurang senang bahkan bisa tersinggung kalau dikatakan “Kamu ambisius” atau “Kamu orang yang berambisi”. Mengapa? Karena di masyarakat kita kata “ambisi” dan “ambisius” berkonotasi negatif. Studi sosiolinguistik menyatakan kata yang berkonotasi negatif bisa menimbulkan reaksi emosional tertentu, dan bisa menimbulkan konflik, lepas apakah kata itu mengacu pada kenyataan atau tidak.

Kata “ambisi” umumnya diartikan sebagai keinginan kuat mencapai sukses dengan cara apapun, bahkan dengan cara yang tidak semestinya dan kalau terpaksa dengan mengorbankan teman dan sahabat karib sekalipun. Kata ini maknanya menjadi peyoratif, kata yang maknanya memburuk.

Benarkah kata “ambisi” dan “ambisius” bermakna negatif? Atau berkonotasi negatif karena kata itu menempel pada sikap-sikap negatif seseorang? Kegelisahan saya atas makna kata tersebut memaksa saya melakukan pelacakan lewat kamus dan buku yang membahas persoalan “ambisi” dan “ambisius”. Kata “ambisi“ dan “ambisius” berasal dari bahasa Inggris “ambition” dan “ambitious”. Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1989: 34) mendefinsikan “ambition” sebagai “strong desire to achieve something” (keinginan kuat untuk mencapai sesuatu”, sementara “ambitious” didefinisikan sebagai “to be full of ambition, especially for success or money” (penuh dengan ambisi khususnya untuk memperoleh kesuksesan atau uang”.

Dari definisi di atas bisa ditarik butir-butir pengertian sebagai berikut:

• ada tujuan yang hendak dicapai,
• ada keinginan kuat untuk mencapai tujuan tersebut,
• ambisius merupakan sikap alamiah yang berlaku pada siapa saja.

Jika pembaca setuju dengan butir-butir tersebut di atas, maka tidak ada sama sekali konotasi negatif yang dikandung kata tersebut. “So, there is nothing wrong with the words “ambition” and “ambitious”, begitu penutur bahasa Inggris biasanya berujar ketika melihat tidak ada persoalan yang dihadapi.

Pembacaan saya atas kesalahkaprahan makna “ambisi” dan “ambisius” menemukan jawaban yang melegakan. Menurut Tatenhove (dalam Wishnubroto, 1992:12) konotasi negatif kata kata tersebut ternyata sudah lama terjadi, yakni pada abad ke-15 ketika muncul pertama kali dalam literatur Inggris yang diambil dari bahasa Perancis. Kala itu ambisi berarti “an eager desire for honor, rank, and position” (suatu keinginan kuat untuk memperoleh kemuliaan, kedudukan dan jabatan tinggi). Dalam perkembangannya, kita tidak tahu mengapa justru makna inilah yang lebih populer dan dianggap benar oleh banyak orang. Sementara makna aslinya dalam bahasa Inggris yang baik dan benar tidak dipakai.

Orang memungut begitu saja arti kata ambisi yang memang cenderung negatif (karena orang yang berhasrat mencapai kedudukan, jabatan dan kekuasaan cenderung menghalalkan berbagai cara untuk memperolehnya). Padahal, arti asli kata itu dalam bahasa Inggris sangat bagus. Orang harus memiliki keinginan dan cita-cita kuat dan berjuang serta bekerja keras untuk mencapainya. Cita-cita kuat dan perjuangan keras itu menurut saya justru harus kita miliki jika ingin berhasil. Keberhasilan tidak mungkin datang tanpa perjuangan keras.

Oleh karena itu, kita harus mulai menggunakan dan memaknai kata “ambisi” dan “ambisius” dalam arti yang benar, sehingga tidak memandang ambisi dan ambisius sebagai tindakan dan sikap negatif.. Tetapi saya sadar bahwa pekerjaan ini tidak mudah, karena membetulkan “kesalahkaprahan” memang tidak segampang meluruskan ”kesalahan” makna kata. Sebab, di masyarakat sudah terlanjur terjadi apa yang oleh para ilmuwan sosial disebut sebagai “collective memory” yang tidak begitu saja mudah dihilangkan.

Uraian singkat ini mengajak kita untuk tidak melanjutkan kesalahkaprahan makna “ambisi” dan “ambisius” dalam interaksi sosial kita. Akhirnya, saya justru merenung jangan-jangan orang yang dimaksudkan mahasiswa di awal tadi justru orang yang harus kita tiru sikap dan etos kerjanya.

Akhirnya, atas bisikan mahasiswa tersebut saya tak lupa menyampaikan terima kasih sebab ternyata mengantarkan saya ke pemahaman yang benar atas kesalahkaprahan dan kesalahpahaman selama ini. Kini saya justru menunggu bisikan-bisikan selanjutnya. Mungkin bisikan lain akan meluruskan kesalahkaprahan yang lain pula. Kesalahkaprahan dan kesalahpahaman toh masih semarak di sekeliling kita.

__________

Jumat, 04 Desember 2009

Arti Penting Filsafat Sosial dalam Studi Keislaman

ARTI PENTING FILSAFAT SOSIAL DALAM STUDI KEISLAMAN[1]

Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si.[2]

Agak janggal memang, ketika khasanah kajian tidak hanya menerima kehadiran paradigma positivis dan intepretif, tetapi juga kritis, peluang tersebut belum cukup dimanfaatkan oleh umat Islam untuk menawarkan semacam paradigma tandingan. Sekedar pengalaman membimbing dan menguji tesis dan disertasi saya selama ini misalnya, masih lebih banyak yang menjadikan liberalisme, sosialisme, eksistensialisme, dan feminisme sebagai pendirian kajian. Padahal, kemunculan paradigma kritik telah semakin membuka dan bisa dijadikan landasan filosofis pilihan pendidikan para pengkaji dan pelajar muslim untuk, misalnya, menawarkan dan menjadikan Islam sebagai posisi ideologis kajian.

Sejauh pengetahuan saya, ketidak-percayaan diri para pelajar dan pengkaji muslim tersebut, sebagiannya disebabkan oleh kecenderungan studi keislaman selama ini. Untuk itu, dengan membatasi diri pada kemungkinan integrasi filsafat sosial dalam studi keislaman, saya berharap bisa mendorong keberanian (to encourage) para pelajar dan pengkaji muslim untuk menawarkan paradigma kebermasyarakatan Islam sebagai tandingan terhadap berbagai pendirian filosofis dan ideologis yang selama ini sudah ada.

Mengawali pembahasan, akan disinggung selintas tentang filsafat, filsafat politik, dan filsafat sosial. Selanjutnya, pusat perhatian akan diberikan pada telaah terhadap pandangan filsafat sosial terhadap hakikat manusia sebagai mahkluk sosial, spekulasi filsafat sosial tentang tatanan sosial idaman, dan integrasi filsafat sosial dalam studi keislaman.

A. Filsafat, Filsafat Politik, dan Filsafat Sosial

Dua akar kata adalah philo = cinta dan sophia = kebijaksanaan, menjadikan kita terbiasa mengartikan filsafat sebagai cinta kebijaksanaan. Tentu saja ada banyak orang yang memiliki dan menjalani hidup dengan kebijaksanaan. Tetapi jelas bahwa hal ini tidak menjadikan mereka menjadi seorang filsuf, karena filsafat tidak sama dengan kebijaksanaan, melainkan cinta kebijaksanaan. Seorang filsuf adalah siapa pun yang secara pribadi mencintai untuk mengetahui kebenaran, tentang prinsip umum dunia. Dengan ungkapan lain, mereka adalah orang yang dengan giat mengejar kebenaran dan atau kebijaksanaan dalam berbagai hal.

Hingga kini, pembicangan disiplin filsafat muncul secara beraneka-ragam. Bila pembidangan dilakukan berdasarkan wilayah permasalahan yang dikaji, maka dikenal cabang: Logika, Epistemologi, Etika, Metafisika, Filosofi Politik, dan Estetika. Belakangan, karena persoalan kehihupan bersama umat manusia tidak hanya menyangkut hubungan warga negara dan pemerintah, maka juga dikenal Filsafat Sosial.

Filsafat politik, yang bertolak dari asumsi manusia sebagai makhluk politik (zoon politicon) berkembang menjadi kajian tentang sifat dasar pemerintah. Filsafat politik mengkaji hakikat, asal-muasal, dan tujuan pemerintah, termasuk bentuk negara. Spekulasi filosofis di bidang ini diarahkan pada upaya menjawab bentuk negara dan pemerintahan bagaimana yang terbaik?

Telah ada sejumlah pandangan filosofis tentang hal ini. Pertama, teori kontrak sosial. Filsafat politik ini diajukan oleh Thomas Hobbes (1588-1679). Lebih lanjut ini dikembangkan oleh John Locke ( 1632-1704), dan Jean-Jacques Rousseau ( 1712-1778). Pada intinya, teori ini menjawab pertanyaan tentang asal-muasal negara dan pemerintah. Konsep kontrak sosial menggambarkan bahwa negara berdiri sebagai hasil dari kesepakatan sekelompok manusia, dengan segala konsekuensinya. Pemerintah diadakan untuk menyelenggarakan negara yang harus tunduk pada pokok-pokok yang ada dalam kesepakatan sosial tersebut, khususnya untuk memenuhi kebutuhan bersama berupa perdamaiab, keselamatan dan keadilan. Jika pemerintah tidak menjalankan tugas atau tidak mencapai tujuan tersebut, maka warga negara berhak untuk memilih pemerintah yang baru, atau bahkan membubarkan negara. Ini merupakan filsafat dasar demokrasi.[3]

Kedua, filsafat politik hukum alam. Filsafat ini telah muncul sejak jaman Yunani. Diasumsikan ada hukum yang lebih tinggi yang menjadi gantungan bagi hukum-hukum tertulis suatu negara dan atau pemerintahan. Hukum-hukum alam ini diakui sahih secara universal, sehingga dapat diterapkan untuk semua pemerintahan. Sumber hukum alam itu sendiri berasal dari penalaran manusia.[4]

Ketiga, teori keadilan. Teori ini memusatkan perhatian pada masaah keadilan. Diterima bahwa salah satu maksud pendirian pemerintahan adalah untuk menjamin keadilan bagi warga negara. Salah satu pemikir di bidang ini adalah John Rawls, yang menulis A Theory of Justice (1971). Dia mengajukan teori keadilan distributif. Teori ini menekankan pada tiga kaidah keadilan, yaitu: kaidah kebebasan terbesar yang setara (the principle of greatest equal liberty), kaidah perbedaan (the difference principle), dan kaidah kesamaan peluang (the principle of fair equality of opportunity).[5]

Pada dasarnya, bernegara dan fenomena negara hanya merupakan salah satu wujud dari fenomena hidup berserikat. Karena itu, lazimnya juga diterima bahwa filsafat sosial memiliki cakupan lebih luas dibanding filsafat politik. Selain mempertanyakan hakikat manusia sebagai makhluk sosial (the nature of human as social creature), bidang kajian filsafat sosial juga mencakup sendi-sendi kehidupan sosial (the foundations of social life), tatanan sosial idaman (the idealized social order), dan bahkan seni hidup bersama (the arts of living together).

B. Hakikat Manusia sebagai Mahkluk Sosial

Teramat sering kita menggunakan istilah manusia sebagai makhluk sosial untuk sekedar membenarkan bahwa setiap orang butuh orang lain, sehingga sangat jarang ada usaha mendalam untuk menjelaskan hakikat manusia sebagai makhluk sosial, atau lebih tepatnya apa yang membedakan sosialitas manusia dengan sosialitas hewan.

Terkait itu, filsafat sosial mampu membantu kita untuk merenungi kembali apa sebenarnya kelebihan dan kekurangan kita sebagai makhluk sosial bila dibandingkan dengan perkelompokan dunia binatang. Filsafat sosial, terkait hal ini dengan lebih jernih memperkenalkan lima jenis sosialitas, yang didasarkan pada: (1) perilaku berkumpul antar sesama, (2) pemberlakuan jenjang kedudukan, (3) pembagian tugas berdasar keragaman ragawi, (4) praktik pengkhususan fungsional, dan (5) keberadaan nurani pengorbanan demi sesama.

Pertama, seperti biri-biri, manusia juga suka hidup berkelompok. Perbedaannya, kalau perkelompokan biri-biri sekedar memuaskan kebutuhan berdekatan secara ragawi, perkelompokan manusia memberi nilai tambah bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Hingga kiamat pun, kelompok biri-biri hanya tahu memanen. Tak pernah ada, kecuali dalam dongeng pengantar tidur, sekawanan biri-biri yang berbagi tugas menggarap tanah dan menanam rumput demi persediaan makan mereka sendiri. Akan halnya perkelompokan manusia, merupakan wahana kerjasama bagi peningkatan sediaan kebutuhan mereka. Kendati nyaris tanpa nilai-tambah, perkelompokan biri-biri tak pernah pandang bulu. Seburuk apa pun tampang seekor biri-biri, kehadirannya diterima dengan baik oleh kelompoknya. Sebaliknya, hanya karena perbedaan warna kulit, bukan mustahil sesama manusia saling membunuh.

Kedua, mudah dikesan seperti sekandang ayam, manusia pun menerapkan penjenjangan kedudukan. Bedanya, kalau hirarkhi dunia ayam menyiratkan hasrat menang-menangan dan naluri kerakusan, pada manusia menjadi cara berguna bagi tujuan bersama. Tak pernah ada, misalnya, seekor ayam kelas atas mengomandani ayam kelas bawah untuk membangun pertahanan dari dan perlawanan terhadap seekor musang. Para ayam, kecuali sang induk dengan anak-anak kecilnya, hanya berlarian demi keselamatan diri sendiri. Perilaku demikian hanya terhenti bila sang musang telah berhasil menangkap mangsa dan beristirahat dalam kekenyangan. Sebaliknya, kalau ada seekor harimau mengancam sekelompok manusia, justru harimau yang mungkin menjadi santapan bersama mereka. Persoalannya, mudah dikesan pula kalau kekuasaan manusia jenjang atas cenderung merampas kebebasan lahir-batin manusia kelas bawah.

Ketiga, seperti kebanyakan hewan bertulang belakang, manusia pun mengenal pembagian tugas berdasar perbedaan anatomi. Perbedaannya, kalau pembagian tugas pada hewan semata karena keterbatasan ciri ragawi, pada manusia melampaui ciri ragawi hingga hegemoni patriarkhi. Tak pelak lagi, kaum perempuan terbelenggu oleh sejibun tugas ranah domestik. Padahal, tiada alasan ragawi yang menghalangi kaum laki-laki mengasuh anak, memasak makanan, menyapu halaman, maupun mencuci pakaian. Tiada alasan memadai, mengapa kalau pilot harus laki-laki sedangkan pramugari harus perempuan, kalau dokter sering laki-laki sedangkan perawat tentu perempuan, kalau direktur seolah pasti laki-laki sedangkan sekretaris niscaya perempuan.

Keempat, seperti koloni semut, masyarakat manusia pun menampilkan ciri pengkhususan fungsional. Perbedaannya, kalau pada semut pengkhususan seumur hidup menjadi harga mati dan sebatas dalam koloni mereka, pada manusia berlaku sementara dan saling bergantung dengan masyarakat lain. Walhasil, manusia masa kini tak hanya harus siap beralih peran dan pekerjaan, tetapi juga harus mampu membangun kebersamaan dalam perbedaan. Bisa dipastikan, sekelompok petani khusus apel tak hanya butuh apel, dan sekelompok tukang khusus meja-kursi tak hanya butuh meja-kursi. Ada peluang kenaikan dan penurunan jenjang sosial, dan ada saling ketergantungan antar masyarakat manusia.

Kelima, seperti sekawanan gajah, manusia pun memiliki nurani pengorbanan demi sesama mereka. Kalau sekawanan gajah dewasa mengasuh, menjaga dan berani menerjang bahaya demi gajah-gajah muda tanpa peduli siapa induknya, masyarakat Indonesia pun pernah menyumbang atau disumbang bahan makanan dan obat-obatan bangsa-bangsa lain. Bahkan, hampir semua negara melembagakan pajak lebih besar bagi kaum kaya demi pemberdayaan kaum miskin. Meski demikian, terlihat jelas betapa hasrat berkorban demi orang lain pada manusia tak menyurutkan sama sekali hasrat mengorbankan orang lain demi diri dan kelompoknya. Upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi, berbenturan dengan kecintaan berlebih kepada diri sendiri dan harta benda.

Bila dicermati, justru karena kesosialan uniknya, manusia cenderung berlaku pandang-bulu dan terlibat konflik sosial. Lebih dari itu, masih ada dua lagi asal-usul sosial pertikaian manusia, yaitu: kurun altrisialitas, dan kemajemukan status sosial mereka. Meminjam konsep ornitologi, manusia adalah makhluk altrisial. Ketika lahir, bayi manusia tak berdaya mempertahankan dan memenuhi kebutuhan dirinya. Karena itu, bayi-bayi pun harus dipelihara dan ditumbuh-kembangkan oleh manusia dewasa dalam waktu cukup lama.

Selama belum dewasa dan mandiri, manusia masih bergantung kepada orang lain. Kurun kebergantungan anak manusia, ternyata jauh lebih lama ketimbang makhluk lain. Kelengkapan reproduktif manusia baru tercapai pada hitungan belasan tahun, dan masih perlu beberapa tahun lagi untuk kematangan fisik secara utuh.

Selama kurun kebergantungan hingga akhir hayat, manusia senantiasa mempelajari seperangkat ketrampilan, pengetahuan, dan nilai-nilai bagi peran masa kini dan masa depan mereka. Bila berhasil, manusia bisa menyatukan diri ke dalam masyarakatnya. Pranata keluarga, pendidikan, keagamaan, kemasyarakatan, dan negara-bangsa berperan memasyarakatkan dan membudayakan manusia muda. Ada cukup bukti bahwa sebagian besar perilaku manusia merupakan hasil pemasyarakatan dan pembudayaan.

Keunikannya, kalau seekor binatang hanya menjadi anggota satu kelompok, setiap manusia menjadi anggota banyak kelompok sosial. Memang boleh jadi ada binatang yang berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain. Namun, pada satu saat seekor binatang hanya mempunyai satu kelompok dan hidup dalam ruang tertentu. Sedangkan manusia, secara bersamaan menjadi anggota berbagai kelompok. Seseorang, misalnya, sekaligus menjadi kepala keluarga, guru sekolah, umat beragama, organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan juga warga suatu daerah atau negara. Karena itu, manusia adalah makhluk multi-sosial, multi-budaya, dan multi-status.

Justru bila diwawas dalam kemajemukan sosial, budaya dan status itu, manusia senantiasa terletak dalam kancah tarik-ulur tuntutan satuan sosial, budaya dan kedudukannya. Manusia tak hanya dimasyarakatkan dan dibudayakan dalam satu satuan sosial-budaya. Seseorang kenalan kita, misalnya, tak hanya anak pasangan suami isteri tertentu, tetapi juga warga etnik tertentu, penganut agama tertentu, warga daerah tertentu, warga provinsi tertentu, dan warga negara tertentu. Semua itu disandang sekaligus, sehingga bukan tidak mungkin terjadi loyalitas majemuk, tetapi juga mungkin konflik peran.

C. Spekulasi Filsafat Sosial tentang Tatanan Sosial Idaman

Filsafat sosial juga mempersoalkan pengertian masyarakat sebagai sekedar sekumpulan spesies yang hidup beersama dan saling bekerjasama untuk mencapai tujuan secara kolektif, yang tidak dapat dicapai sebagai atau secara individual. Kritik ini muncul karena ternyata bentuk interaksi sosial tidak hanya berupa kerjasama, tetapi juga persaingan dan pertikaian sosial. Demikian pula, akibat dari interaksi sosial tersebut, tidak hanya selalu mencapai tujuan bersama, tetapi justru malah bisa bersifat disfungsional seperti kejahatan dan perang, serta malfungsional seperti pengangguran dan pencemaran.

Walhasil, para pemikir sosial justru semakin menyadari bahwa kajian sosial semestinya mempelajari sejumlah disfungsi dan malfungsi sosial, seperti para ahli kesehatan mempelajari berbagai penyakit fisik. Persoalannya lagi, kalau para ahli kesehatan bisa mengenali kriteria kesehatan yang baik, kajian sosial malah belum bisa menetapkan kriteria organisasi sosial yang sehat. Karena itu, masih terbuka peluang luas untuk tidak hanya menawarkan kriteria tatanan sosial ideal, tetapi juga peluang untuk mengintegrasikan berbagai gagasan tatanan sosial ideal yang sudah ada, baik yang telah dikenal sebagai utopia, seperti sosialisme utopian (utopian socialism) maupun yang mendakwa dirinya sebagai yang bukan utopia, seperti sosialisme ilmiah (scientific socialism).

Istilah Inggris utopia, yang berasal dari kata Yunani ou (tidak) dan topos (tempat), karena itu secara harfiah dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan (a land of no place; a never-never land). Pengertian lain bisa dirunut dari eu (well, good) dan topos (place), karena itu secara harfiah berarti a good or perfect place. Sebagai istilah khusus, utopia digunakan oleh Thomas More (1516) sebagai nama untuk masyarakat yang dia idealkan. Kini, istilah utopia digunakan oleh para filsuf, pemikir sosial, dan para penulis untuk menunjuk pada tatanan sosial ideal dan yang mustahil diwujudkan. Untuk memberikan gambaran, bagaimana tatanan masyarakat utopian disajikan, berikut adalah sekedar ringkasan dari karya Thomas More, Utopia (1518).

Utopia adalah sebuah pulau di belahan bumi selatan, di mana segala sesuatu dikerjakan dengan cara terbaik. Pulau ini secara kebetulan dikunjungi oleh seorang pelaut yang bernama Raphael Hythloday, yang menghabiskan waktu lima tahun di sana, dan hanya kembali ke Eropa untuk memperkenalkan lembaga-lembaga yang bijaksana di pulau Utopia itu.

Di pulau Utopia, semuanya dimiliki secara bersama, karena kebaikan publik tidak dapat tumbuh jika masih ada kepemilikan pribadi, dan tanpa komunisme tidak akan ada keadilan. More, dalam dialog ini, berkeberatan jika dikatakan bahwa komunisme membuat manusia malas, dan merusak kehormatan para hakim; tentang hal ini, Raphael menjawab bahwa tidak akan ada orang yang berkata demikian jika dia telah hidup di Utopia.

Di Utopia terdapat lima puluh empat kota, semua dibangun dengan perencanaan yang sama, kecuali ibukotanya. Semua jalan memiliki lebar dua puluh kaki, dan semua rumah pribadi sama persis, dengan satu pintu menghadap ke jalan dan satu lagi menghadap ke taman. Pintu-pintu ini tidak berkunci, dan setiap orang bisa masuk ke sembarang rumah. Atap­nya datar. Sepuluh tahun sekali, orang-orang berganti rumah -rupanya untuk menghindari rasa kepemilikan. Di negara ini, terdapat tanah-tanah pertanian, yang masing-masingnya diolah oleh tidak kurang dari 40 orang, termasuk dua orang budak belian; setiap tanah pertanian berada di bawah kekuasaan seorang pemilik laki-laki dan perempuan yang tua dan arif. Telur-telur ayam tidak dierami induknya, tetapi diletakkan di.dalam inkubator (yang belum ada semasa More). Semua orang berpakaian sama, kecuali perbedaan antara pakaian laki-laki dan perempuan, sudah menikah dan belum. Modenya tidak pernah berubah, dan tidak ada perbedaan antara pakaian musim panas dan dingin. Ketika bekerja, mereka mengenakan pakaian kulit; sepasang pakaian akan bertahan sampai tujuh tahun. Seusai bekerja, mereka menanggalkan pakaian kerja dan mengena­kan mantel wol. Semua mantel seragam dan tidak diberi pewarna. Masing-­masing keluarga membuat pakaiannya sendiri.

Setiap orang -laki-laki dan perempuan- bekerja enam jam sehari; tiga jam sebelum makan siang dan tiga jam sesudahnya. Semua orang tidur pada jam delapan selama delapan jam. Di pagi hari ada ceramah, yang dihadiri banyak orang, meskipun tidak diwajibkan. Setelah makan malam, ada waktu satu jam untuk bermain. Kerja selama enam jam sudah cukup, karena tidak ada orang malas dan tidak ada kerja yang sia-sia; biasanya dikatakan bahwa perempuan, pendeta, orang kaya, pembantu dan pengemis boleh dikata tidak melakukan apa pun yang bermanfaat, dan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang kaya, tenaga buruh banyak dihabiskan untuk memproduksi barang-barang mewah yang tidak ber­guna; semua ini dihindari di Utopia. Kadang-kadang terdapat surplus, dan kemudian para hakim sekali waktu akan mengumumkan hari kerja yang lebih pendek.

Sebagian laki-laki dipilih untuk belajar ilmu pengetahuan, dan dibebaskan dari pekerjaan lain ketika prestasi ilmu pengetahuan mereka memuaskan. Semua orang yang mengurusi pemerintahan dipilih dari mereka yang terpelajar. Pemerintahannya adalah demokrasi perwakilan, dengan sistem pemilihan tidak langsung: pucuk pimpinannya adalah seorang pangeran yang dipilih seumur hidup, tetapi dapat diberhentikan jika menjadi tiran.

Kehidupan keluarga bersifat patriarkal; anak laki-laki yang menikah tinggal di rumah ayahnya dan tetap diatur olehnya, kecuali ayahnya sudah tua. Jika sebuah keluarga mempunyai anak terlalu banyak, anak-anak surplusnya dipindahkan ke keluarga lain. Jika sebuah kota tumbuh men­jadi terlalu besar, sebagian penduduknya dipindah ke kota lain. Jika semua kota menjadi terlampau besar, akan dibangun kota baru di tempat yang tidak berguna. Tidak disebutkan bagaimana jadinya jika semua tempat yang tidak berguna telah habis dimanfaatkan. Semua penyembelihan hewan untuk makanan dilakukan oleh budak belian guna menghindari agar warga yang bebas tidak belajar kekerasan.

Ada rumah-rumah sakit yang sangat baik untuk mengobati orang-orang sakit. Makan di rumah diizinkan, tetapi kebanyakan orang makan di gedung-gedung umum. Di sini "pekerjaan hina" dilakukan budak-budak belian, tetapi memasak dikerjakan oleh para perempuan dan dibantu oleh anak-anak yang sudah mampu. Kaum laki-laki duduk di sebuah bangku, perempuan di bangku lain; ibu-ibu yang mengurusi anak-anak balita ditempatkan di ruang ter­sendiri. Semua perempuan mengurusi anak-anak mereka sendiri. Anak­anak yang berusia lebih dari lima tahun, jika masih terlalu muda untuk menjadi pembantu, "diam seribu bahasa," ketika kakak-kakaknya makan; mereka tidak makan di tempat lain, tetapi harus puas dengan sisa makanan yang diberikan padanya di meja.

Tentang pernikahan, laki-laki dan perempuan dihukum berat jika tidak lagi suci ketika menikah; dan kepala keluarga yang berbuat salah dapat dikenai hukuman berat. Sebelum menikah, calon mempelai laki­laki dan perempuan saling melihat tubuh mereka masing-masing dalam keadaan telanjang; tidak akan ada orang yang membeli kuda tanpa ter­lebih dahulu membuka tali kekang dan pelananya, pertimbangan yang sama juga diterapkan dalam pernikahan. Perceraian terjadi karena per­zinahan atau "ketidakpatuhan yang tidak ditolerir pada pasangannya, namun pasangan yang bersalah tidak dapat dinikahinya kembali. Kadang­-kadang perceraian dilakukan semata-mata karena pasangan ini meng­inginkannya. Orang-orang yang merusak ikatan pernikahan dihukum sebagai budak.

Ada perdagangan asing, terutama untuk memperoleh besi, yang tidak dimiliki pulau itu. Perdagangan juga dimaksudkan untuk tujuan-­tujuan yang berkaitan dengan perang. Orang-orang Utopia tidak berpikir bagaimana cara memenangkan peperangan, meskipun semua belajar ber­perang, baik laki-laki dan perem.puan. Mereka melakukan perang dengan tiga tujuan: mempertahankan wilayahnya ketika diserang; membebaskan wilayah sekutunya dari penyerbu; dan membebaskan bangsa yang ter­tindas oleh tirani. Tetapi apa pun tujuannya, sebenarnya mereka mengirim pasukan untuk berperang demi diri mereka sendiri. Mereka ingin mem­buat bangsa-bangsa lain berhutang pada mereka, dan hutang dianggap lunas jika bisa menyediakan tentara. Demi tujuan-tujuan perang, mereka mencari sumber emas dan perak yang bermanfaat untuk membayar tentara-tentara asing. Untuk tentaranya sendiri, mereka tidak membayar­nya dan mengajarkan perasaan jijik pada emas dengan cara mengguna­kannya sebagai pispot dan borgol para budak. Mutiara dan intan berlian digunakan sebagai hiasan bagi bayi, tetapi tidak pernah bagi orang dewasa. Ketika berperang, mereka menawarkan hadiah besar kepada siapa saja yang bisa membunuh raja musuhnya, dan hadiah yang lebih besar lagi diperuntukkan bagi mereka yang bisa membawanya hidup-hidup, atau bagi raja itu sendiri jika mau menyerahkan diri. Mereka mengasihani orang-orang awam musuhnya, "karena mereka tahu orang­orang itu diperintah dan dipaksa berperang oleh para pangeran dan pimpinannya yang benar-benar gila." Perempuan dan laki-laki berperang, tetapi tidak ada yang dipaksa. "Mesin-mesin perang mereka rancang dan buat secara menakjubkan dan pintar. Akan terlihat bahwa sikap mereka terhadap perang lebih bijaksana daripada heroik, meskipun mereka akan menunjukkan semangat yang luar biasa ketika diperlukan.

Tentang etika, mereka amat sangat cenderung ber­anggapan bahwa kebahagiaan berisikan kenikmatan. Namun demikian, anggapan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi yang tidak buruk, karena menurut mereka perbuatan baik akan mendapat pahala setimpal di kehidupan akhirat, dan perbuatan buruk mendapat hukuman. Mereka tidak asketis, dan memandang puasa sebagai kebodohan. Ada banyak agama di antara mereka, semuanya ditolerir. Hampir semua orang percaya pada Tuhan dan keabadian; beberapa orang yang tidak percaya tidak dianggap sebagai warga, dan tidak mendapat tempat dalam kehidupan politik, tetapi tidak diganggu. Sebagian orang suci menghindari daging dan tidak menikah; mereka dianggap suci, tetapi tidak dianggap bijaksana. Kaum perempuan dapat menjadi pendeta, jika mereka sudah tua dan janda. Pendeta-pendeta jumlahnya sedikit; mereka dihormati, tetapi tidak mempunyai kekuasaan.

Budak belian adalah orang-orang yang dihukum karena melakukan perbuatan buruk, atau orang-orang asing yang melarikan diri dari hukuman mati di negaranya sendiri, tetapi kalau warga Utopia setuju menjadikan mereka sebagai budak. Jika seorang terjangkit penyakit yang tidak bisa disembuhkan, dia disarankan untuk bunuh diri, tetapi nasihat ini disampaikan secara hati­hati kalau-kalau dia menolaknya.

Raphael Hythloday menceritakan bahwa dia menyebarkan agama Kristen pada orang-orang Utopia, dan banyak yang masuk ke dalam agama Kristen setelah mengetahui bahwa agama ini menentang ke­pemilikan pribadi. Makna komunisme selalu ditekankan; mendekati akhir ceritanya, dikisahkan bahwa di seluruh bangsa lain "Saya tidak mendapati apa pun selain konspirasi orang-orang kaya yang memperoleh barang­barang dagangannya sendiri dengan mengatasnamakan persemakmuran (common wealth)."

Bisa dicatat, Utopia More dalam banyak hal sangat liberal. Tampaknya tidak terlampau banyak mempromosikan komunisme. Hal yang menarik justru apa yang dikatakannya tentang perang, agama dan toleransi ber­agama, penentangan terhadap pembunuhan binatang tanpa alasan. Aada sebuah paragraf yang sangat baik tentang penolakan terhadap per­buruan, dan dukungannya pada hukum kejahatan ringan. Namun demikian, harus diakui bahwa kehidupan di negara Utopia-nya More, sebagaimana di kebanyakan negara impian lain, sangat membosankan. Padahal, keragaman itu penting bagi kebahagiaan, dan di Utopia hampir tidak ditemukan keragaman. Ini merupakan sebuah cacat dari semua sistem sosial yang terencana, aktual serta imajiner.

Sejumlah spekulasi filosofis memang telah diajukan mengenai tatanan sosial sempurna ini (the perfect social order), mulai dari karya Plato berjudul Republic, Thomas More berjudul Utopia sebagaimana telah diuraikan secara ringkas, Tommaso Campanella brjudul The City of the Sun (1612), St. Agustinus dengan City of God yang menempatkannya sebagai tujuan yang lebih layak dari kesetiaan manusia dan berada di atas negara. Francis Bacon berjudul New Atlantis (1627), Morelly berjudul Code de la Nature (1755), Etienne Cabet berjudul Voyage en Icaria (1888), Edward Bellamy berjudul Looking Backward (1888), William Morris berjudul News from Nowhere (1890), hingga H.G. Wells berjudul A Modern Utopia (1905).

Masyarakat teratur dalam Republic digambarkan menerapkan aristokrasi dengan menggunakan sistem pendidikan untuk menentukan tempat manusia dalam masyarakat, termasuk penentuan berkat prestasi mereka yang menjadi pemimpin. Utopia Thomas More menggabungkan Republic Plato dengan Epikureanisme dan pandangan Kristen mengenai penyelengaraan ilahi. Francis Bacon mencita-citakan sebuah masyarakat ilmiah dalam The New Atlantis. Ini dilakukan dengan menempatkan ilmu sebagai kunci kebahagiaan universal. City of the Sun Campanella memodifikasi pemikiran sebelumnya dengan menempatkan raja yang juga filsuf sebagai imam menurut pandangan agama.

The Fable of the Bees menentang masyarakat yang diatur menurut prinsip "menyangkut yang lain" atau "menghargai yang lain". Sebuah masyarakat kaum altruis sebetulnya tidak mempunyai atau tidak membutuhkan kekuatan pendorong. Masyarakat hipotetisnya dengan begitu ternyata tidak utopian, dengan membuktikan bahwa kejahatan-kejahatan pribadi merupakan keuntungan umum. Masih banya karya pemikir sosial yang bisa dikategorikan sebagai utopia sosial. Bahkan sejumlah padnangan, seperti pandangan-pandangan Saint Simon dan lain-lain, dijuluki "Sosialisme Utopian" oleh Marx dan Engels untuk sekedar membedakan pemikiran mereka cukup memadai untuk disebut sosialisme ilmiah. Belakangan, konsep masyarakat tanpa kelas (classless society) yang digagas oleh Marx dan Engels pun dikategorikan sebagai utopia, karena begitu mustahil untuk diwujudkan.

Pada akhirnya, ada penyikapan yang berbeda terhadap gambaran citra ideal masyarakat demikian. Ada yang meyakini bahwa gagasan utopis dapat didekati kalau pun tidak sepenuhnya dicapai dalam kenyataan. Ada yang bersikap bahwa gagasan utopis dapat didekati dalam kenyataan dan berfungsi sebagai tolak-ukur untuk menilai keadaan masyarakat sekarang. Tetapi juga ada yang sama sekali percaya bahwa gagasan demikian sekedar angan-angan atau khayalan idealistik tanpa menawarkan secuil nilai apa pun untuk kehidupan bersama.

D. Integrasi Filsafat Sosial dalam Studi Keislaman

Kendati ada silang pendapat tentang problema aksiologis studi keislaman, dengan dua kecenderungan: (1) memperlakukan Islam sebagai semata-mata objek kajian keilmuan, atau (2) menempatkan Islam sebagai rujukan dalam menghayati dan menjalani hidup, kita idamkan bahwa semestinya kedua aspek aksiologis studi keislaman tersebut diintegrasikan menjadi satu pendekatan utuh.[6] Tentu saja, secara praktik banyak tantangan dan kesulitan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Kesulitan terbesar, sejauh bisa ditarik pelajaran dari pengalaman selama ini, tidak hanya menyangkut metodologi kajian, tetapi juga bahkan hingga ke ranah kelas, karena menyangkut metodologi pembelajaran. Secara programatik, idealitas demikian juga menghadirkan persoalan tersendiri untuk, misalnya, sekedar menetapkan tolak-ukur keberhasilan pengkajian dan atau pembelajaran.

Perguruan tinggi, sebagai lembaga pendidikan dan pusat pengkajian mungkin saja memilih orientasi tertentu. Orientasi sangat akademik, misalnya akan menempatkan Islam sebagai objek kajian keilmuan. Islam akan ditelaah sebagai semacam fenomena kemanusiaan, sebagaimana dilakukan oleh berbagai pusat kajian Islam di sejumlah perguruan tinggi terkemuka. Kita bisa menyebut kecenderungan ini sebagai studi Islam kognitif. Siapa pun anda, muslim ataupun bukan muslim, diperkenankan untuk mempelajari Islam. Keluaran orientasi demikian bisa dicermati dari begitu banyak karya keilmuan tentang Islam yang justru ditulis oleh para ahli bukan muslim.

Sebaliknya, orientasi kependidikan akan menempatkan Islam sebagai sumber acuan, atau sebagai bahan belajar pembentukan kepribadian muslim. Ajaran Islam akan diinternalisasikan ke dalam pribadi-pribadi peserta didik, sebagaimana sangat kentara dilakukan oleh berbagai pusat pendidikan Islam, semisal pondok pesantren. Kita bisa menyebut kecenderungan ini sebagai studi Islam afektif. Bisa diniscayakan bahwa yang diperkenankan mempelajari Islam adalah yang bersepakat untuk menjadi muslim yang baik. Keluaran orientasi demikian bisa dicermati dari begitu banyak umat Islam yang lebih mementingkan “ilmu amaliah” ketimbang “ilmu ilmiah”.

Secara ontologik, memang masih terdapat persoalan mendasar dalam studi keislaman. Pengaruh sangat besar dari model pendidikan persekolahan selama ini mendorong penempatan Islam sebagai seperangkat pengetahuan agama. Karena itu, mudah dinalar apabila di masyarakat banyak orang yang lebih banyak mengetahui nitai-nilai ajaran agama, tapi sikap hidup dan perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai ajaran Islam. Akan halnya pada model pendidikan non-formal, Islam lebih ditempatkan sebagai kumpulan preskripsi untuk menjalani hidup.

Keduanya sama-sama kurang begitu menguntungkan bagi integrasi studi keislaman, karena yang pertama mengarah kepada sekularisme, sedangkan yang kedua mengarah kepada eksklusivisme. Sekularisme tampak pada kecenderungan pandangan untuk sekedar menyamakan matakuliah pendidikan keislaman dengan sejumlah matakuliah lain. Eksklusivisme tampak pada kecenderungan untuk memandang hanya sebelah mata kepada segala pengetahuan selain pengetahuan agama.

Mempelajari Islam sebagai sumber pengetahuan telah menjadi arus utama, tidak hanya oleh para sarjana bukan muslim, tetapi juga oleh para sarjana muslim. Bila tinjauan hanya diberikan berdasarkan pertimbangan akademik, kecenderungan ini memang menunjukkan keunggulan. Tidak jarang, misalnya, mereka yang bukan muslim malah lebih mengetahui banyak hal tentang Islam dibanding dengan para ulama yang seumur hidup mengabdikan diri pada usaha dan lembaga pendidikan Islam pesantren.

Tantangan terbesar aksiologi studi keislaman adalah memadukan antara bahan belajar kognitif, afektif dan behavioral, sehingga tidak saja terjadi peningkatan pengamalan keberagamaan, tetapi juga peningkatan keilmuan Islam. Harus ditarik agar tidak terjadi sekularisme, pun juga harus didorong agar tidak terjadi eksklusivisme. Untuk itu, secara ontologis, studi keislaman harus kembali kepada Al Qur’an dan as-Sunnah, namun dengan pendekatan yang lebih ilmiah dan lintas atau multidisiplin.

Aksiologi dan ontologi keislaman sebagaimana diharapkan tersebut memberikan sejumlah implikasi epistemologik. Pertama, setelah memiliki dasar memadai untuk membaca ayat-ayat Al Qur’an, harus diupayakan untuk memahami tidak hanya struktur permukaannya, tetapi juga struktur dalam yang mencakup latar belakang kemasyarakatan dan kesejarahan masing-masing. Dalam konteks ini pula, maka wawasan sosial, budaya, dan politik menjadi piranti yang sangat membantu.

Bila ini semua berhasil dipenuhi, maka dapat diharapkan seseorang yang melakukan atau mengikuti studi keislaman akan mampu menangkap pesan mendasar Al Qur’an, mampu mengungkapkan kembali secara kontekstual, dan mampu mewujudkannya dalam perilaku aktual. Secara filosofis, seluruh upaya ini tidak berhenti pada tataran tacit knowledge, pun tidak mandek pada tataran articulated knowledge, tetapi mengemuka pula pada tataran praxis knowledge. Pengetahuan, perenungan, dan tindakan menjadi matarantai berkesinambungan.

Kedua, mengembalikan kedudukan Islam sebagai panduan menjalani kehidupan. Berkaitan dengan usaha memahami secara mendasar setiap ayat Al Qur’an dan as-Sunnah, harus diusahakan agar proses kajian dan atau pembelajaran sampai pada esensi dan dimensi etika masing-masing. Ini berarti bahwa upaya pengkajian dan pembelajaran tidak berhenti pada aspek legal-formal agama, melainkan justru harus melampauinya hingga sampai pada perangkat etika yang bisa digunakan sebagai panduan hidup baik sebagai pribadi (personal ethics), sebagai makhluk sosial (social ethics), dan bahkan sebagai zoon politicon (political ethics).

Ketiga, menempatkan sejarah Islam sebagai sumber pelajaran (learned lesson) ketimbang sebagai belenggu bagi munculnya penafsiran baru sesuai dengan tantangan jaman. Ini perlu ditegaskan karena ada kecenderungan di kalangan umat Islam untuk selalu mengunggulkan para tokoh sejarah dan pemikirannya. Demikian pula, seolah-olah niscaya bahwa umat Islam di masa lalu lebih baik derajat keislamannya ketimbang umat Islam sekarang dan yang akan datang. Secara tidak kita sadari, kecenderungan ini menjadikan kita telah menafikkan universalitas Islam.[7]

Dengan asumsi bahwa sejumlah gagasan perbaikan studi keislaman tersebut masih perlu dilanjutkan, masih tercecer pertanyaan sangat penting dari tinjauan filsafat sosial. Apakah Islam hanya mengatur indivialita atau juga kolektiva? Kalau sudah ada gambaran pribadi muslim sempurna sebagaimana dalam konsep insan kamil, adakah pula konsep masyarakat sempurna? Cukupkah kita hanya mengulang-ulang ungkapan baldatun thayyibatun warabbun ghafur?

Sungguh di luar kesanggupan pribadi siapa pun untuk menyelesaikan tugas besar merumuskan sendi-sendi kehidupan bersama menurut Islam. Pun tak akan pernah ada satu orang pun yang sanggup mendidikkan sendi-sendi kehidupan bersama menurut Islam kepada umat manusia.

Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, ataupun Malik Bernabi, dan yang lain-lain telah memberikan kontribusi sesuai jamannya. Semoga pemahaman akan arti penting filsafat sosial dalam studi keislaman semakin menggiatkan usaha untuk tidak hanya merumuskan filsafat sosial Islam sebagai landasan pengembangan umat, tetapi juga untuk membuktikan bahwa Islam juga memberikan landasan bagi penciptaan tatanan sosial ideal, sekaligus menegaskan Islam sebagai rahmat tak hanya bagi manusia, tetapi juga bagi alam semesta.



[1] Makalah belum disunting, disajikan pada Annual Conference Studi Keislaman Perguruan Tinggi Agama Islam, yang diprakarsai oleh Departemen Agama Republik Indonesia, November 2007.

[2] Mudjia Rahardjo adalah Guru Besar Sosiolinguistik Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, dengan latar belakang pendidikan Sarjana (S1) Pendidikan Bahasa Inggris, Magister (S2) Sosiologi, dan Doktor (S3) Ilmu Sosial.

[3] Menarik untuk mencermati deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat. Benarkah delarasi itu mencerminkan aliran filsafat politik ini?

[4] Dalam praktiknya ternyata manusia tidak hanya menurunkan (to derivate) ketentuan-ketentuan hukum semata-mata dari kekuatan penalarannya. Artinya, sejak semula manusia tidak bisa membebaskan diri dari berbagai sumber hukum yang lain, khususnya agama, etika dan budaya.

[5] Pada tataran wacana, teori ini sangat berpengaruh. Tetapi pada tararan praktik, teori ini sulit dilaksanakan dan bahkan sering dikonfrontasikan dengan sejumlah ajaran agama.

[6] Idealitas demikian yang hingga sekarang sedang diupayakan secara sungguh-sungguh menjadi pola ilmiah pokok di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.

[7] Kalau ajaran Islam di masa lalu senantiasa diterapkan secara lebih baik, berarti Islam memang hanya relevan untuk umat di masa lalu. Pun apabila umat Islam di wilayah tertentu senantiasa lebih baik umat Islam di wilayah lain, berarti ajaran Islam memang hanya cocok untuk tipe masyarakat dan wilayah tertentu.