Rabu, 09 Desember 2009

GOMBAL

GOMBAL

Di setiap ma­sya­ra­kat penutur ba­hasa, selalu ada ung­kapan lokal atau prokem lokal yang disebut slank. Makna kata atau ungkapan yang tergolong prokem atau slank sering tidak ditemukan di kamus sehingga orang lain yang bukan penutur asli bahasa itu mengalami kesulitan me­ma­hami maknanya. Dalam bahasa Jawa, misalnya, terdapat banyak prokem, seperti weleh-weleh, ndasmu, deng­kul­mu, gombal dan se­ba­gainya. Bagi bukan pe­nutur bahasa Jawa, apalagi orang asing, kata-kata itu sangat sulit di­pahami maknanya.

Suatu ketika dalam sebuah acara seminar, saya bertemu dengan seorang teman asing, sebut saja Mr. Karen, yang sudah hampir dua tahun tinggal di Yogyakarta. Mr. Karen yang sudah mulai fasih berbahasa Indonesia ini bingung bukan kepalang setiap mendengar kata gombal yang diucapkan orang di sekelilingnya. Di­ban­ding dengan orang asing (baca: Barat) pada umumnya, Mr. Karen ini memang tergolong agak pemalu, mungkin karena ia tinggal di Yogyakarta, se­hingga ia lebih suka berusaha sendiri mencari makna kata yang ia tidak mengerti mak­na­nya melalui kamus ketimbang ber­tanya kepada seorang kawan atau kolega.

Mengapa ia lebih suka mencari sendiri makna kata? Sebab, menurutnya, ketika baru saja tiba di Indonesia, ia per­nah ditipu oleh seorang kawan kenalan barunya ketika ia bertanya apa makna kata gendheng (gila). Si kawannya yang usil itu, menerangkan bahwa gendheng adalah ungkapan santun yang mesti di­ucapkan kepada setiap orang yang lebih tua dan di­hor­mati. Kata gendheng di­go­longkan sama maknanya dengan kata baik dan bagus. Apalagi bagi orang asing yang baru saja tiba di Indonesia, kata gendheng itu wajib di­ucap­kan kepada setiap orang yang ditemui. Mr. Karen yang polos itu menuruti saja anjuran kawan yang beretnis Jawa itu. Suatu saat, Mr. Karen hampir di­tem­pe­leng oleh seorang pengojek ka­rena mengatakan “Terima­kasih. Kamu gendheng sekali pak” . Untung si tukang ojek se­gera me­nyadari bahwa Mr. Karen bukan orang Jawa. Sejak saat itu, ia tidak pernah ber­tanya kepada orang lain makna kata yang ia tidak me­nger­ti.

Pertemuan saya dengan Mr. Karen membuktikan sikapnya yang tidak mau bertanya ke­pada orang lain mengenai arti se­buah ungkapan atau kata yang baginya asing. Dalam obro­lan ringan sambil me­nunggu kedatangan seorang pem­bicara sebuah seminar, kata gombal muncul bebe­rapa kali. Mr. Karen itu pun men­catat tidak kurang dari 16 kali kata gombal itu diucapkan oleh peserta obrolan. Merasa semakin penasaran apa makna kata gombal, Mr. Karen minta ijin keluar dari forum obrolan itu dan menuju perpustakaan universitas yang kebetulan hanya berjarak be­berapa meter saja dari tempat me­ngobrol. Saya bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan Mr. Karen. Ia menuju rak tempat kamus dan ensiklopedi disimpan untuk membuka kamus dan mencari makna kata gombal.

Ketika berada di depan rak kamus dan ensiklopedi, se­orang petugas terlihat meng­ham­pirinya. Petugas per­pus­ta­kaan dengan ramah menyapa dan bertanya apa yang dapat ia bantu. Mr. Karen menjawab bahwa ia perlu kamus bahasa Jawa yang letaknya memang agak jauh dari kamus bahasa Indo­nesia. Dengan terkejut, Mr. Karen menemukan kata gombal di dalam kamus ter­sebut. Tetapi, dia terheran-heran setelah membaca makna kata itu. Gombal diartikan se­bagai “kain lusuh atau lama yang tidak lagi terpakai dan biasanya untuk alat bersih-bersih”.

Mr. Karen tampak semakin bingung apa relevansi makna kata itu dengan konteks obrolan kawan-kawannya tadi atau yang sering di­ucap­kan oleh orang Indonesia, teru­t­a­ma orang Jawa. Sebagai orang yang kebetulan suka meng­kaji fe­nomena kebahasaan dan be­r­­maksud menolong teman asing ini saya menjelaskan arti kata gombal tersebut. Seperti layaknya saya sedang men­je­laskan salah satu materi atau pokok bahasan dalam ma­ta­ku­liah sosiolinguistik, yakni slank, idiom, dan jargon serta­ register, saya me­ngawali penje­lasan dengan mengata­kan bahwa di setiap ma­sya­ra­kat penutur bahasa (speech com­munity) selalu ada ungka­pan bernilai lokal kul­tural yang mak­nanya sering jauh dari makna literal, se­ba­gaimana yang tertulis di kamus.

Dalam masyarakat modern yang berpenutur bahasa Ing­gris pun juga terdapat slank, jargon dan sejenisnya. Karena makna kata atau ung­ka­pan pada hakikatnya adalah hasil kon­vensi di antara ang­gota masyarakat penuturnya, maka setiap anggota penutur ba­hasa juga berhak mencip­ta­kan istilah, jargon atau ung­ka­pan ter­tentu sesuai kemauan me­reka sendiri untuk ke­pen­tingan komunikasi di antara mereka, termasuk kata gom­bal itu. Mr. Karen tampak ter­mangu-mangu dengan pen­je­lasan saya itu dan sepertinya tidak sabar menanti jawaban apa arti kata gombal itu.

Dalam masyarakat Jawa, kata gombal dipakai sebagai ung­kapan penyeru simpulan atau penilaian atas suatu mutu pembicaraan, barang, kinerja, karya dan sebagainya yang dipandang tidak berkualitas, tidak bermutu atau lembek yang tidak sesuai dengan harapan. Karena itu, kalau ada orang yang kinerja, prestasi dan karyanya tidak bagus bisa di­­katakan pula bahwa kinerja, pres­tasi dan karyanya gom­bal. Kalau kita masuk rumah ma­kan yang ke­li­ha­tan­nya bagus dan ternyata menu ma­ka­nannya tidak enak apalagi harganya tinggi, kita juga dapat me­nyebutnya se­ba­gai rumah makan gombal.

Dalam lingkungan kampus, kalau ada mahasiswa yang sikap dan pembicaraannya tidak berkualitas atau tidak ber­mutu bisa juga dikatakan se­bagai gombal. Kalau ada ma­hasiswa yang indeks pres­tasinya (IP) nya 0, 67 karena semua matakuliah yang di­pro­gram tidak lulus kecuali satu ma­takuliah dan itupun nilainya C (belakangan disadari oleh dosen­nya bahwa nilai C itu pun karena keliru memasukkannya karena sambil mengantuk saat me­nuliskan nilai), maka ma­ha­siswa ini pun juga bisa disebut se­bagai gombal kendati se­hari-hari berpakaian necis dengan celana jean dan sepatu ber­kualitas. Mungkin ma­hasiswa demikian lebih gom­bal ketimbang gombal se­hingga menjadi gombal su­wek. Sudah gombal dan ro­bek lagi sehingga tidak ada arti­nya sama sekali.

Tak terkecuali dosen. Kend­ati telah berpendidikan tinggi dan beberapa gelar akademik berjejer di depan dan belakang namanya, se­orang dosen bisa saja disebut se­bagai ….(wah saya tidak berani, he he ), jika ia tidak me­miliki komitmen dan integritas akademik tinggi yang ditunjukkan dengan karya atau tulisan-tulisan ilmiahnya, atau reputasi, kinerjanya.

“Wah demikian ya makna kata gombal ya pak” kata Mr. Karen sambil memegang kamus yang di dalamnya tidak ada penjelasan yang lengkap atas makna kata gombal itu. Saya jawab iya. Dan, karena itu mesti hati-hati mengartikan arti kata. “Terus, bagaimana awal mula kata gombal itu di­pa­kai da siapa yang mengawali menggunakannya pak? tanya Mr. Karen. Nah, kali ini saya sangat bingung menjawabnya. Sebab, pertanyaaan kapan dan di mana sebuah kata atau ung­ka­pan mulai digunakan dan siapa penggunanya meru­pa­kan sa­lah satu pertanyaan sulit da­lam ilmu kebahasaan atau li­ngu­­istik. Ini memerlukan pe­ne­li­tian filologis yang lumayan sulit.

Namun demikian, agar tidak me­­nge­cewakannya, saya jawab begini. “Seingat saya, sejak kecil saya sudah sering men­dengar kata gombal baik di lingkungan keluarga, ma­sya­rakat atau bahkan sekolah”. Di keluarga, nenek saya, mak­lum saya memang diasuh nenek sejak delapan bulan karena ke­buru punya adik lagi, yang da­lam masyarakat Jawa di­sebut kesundulan, nenek saya sering mengatakan saya ini gombal ketika saya me­rumput (Jawa: ngarit) setengah hari hanya memperoleh se­te­ngah keranjang karena saya selalu kalah main balangan (me­lempar sabit ke batas sawah atau galengan) karena me­lesat terlalu jauh sehingga rumput saya diambil yang me­nang. Maklum, saya memang paling kecil di antara teman-teman sepermainan, sehingga saya sering menjadi bahan gun­ji­ngan dan permainan mereka.

Di sekolah saya juga pernah di­katakan gombal oleh guru olahraga karena tim kasti saya kalah telak dengan tim kasti se­kolah desa tetangga. Yang mengherankan waktu itu kekalahan akibat hasil kerja tim yang tidak kompak dan lawan memang tangguh, yang dimarahi dan dikatakan gombal hanya saya. Padahal, saya bukan ketua tim. Kepada ketua tim, guru saya justru memberi semangat dengan mengatakan ”Gak apa-apa sekarang kalah, tetapi lain kali tidak boleh ya”. Karena itu, dalam hati saya mengatakan guru saya ini guru gombal, karena pilih kasih.

Tetapi, Mr. Karen, lanjut saya, di Indonesia ini memang ba­nyak gombal. Dalam dunia pendi­dikan, ada orang mempe­roleh gelar doktor dan bahkan pro­fesor hanya dalam waktu be­be­rapa bulan dengan mem­bayar beberapa juta rupiah. Aneh­nya peminat praktik gom­bal ini bukan dari golongan ma­sya­rakat awam, tapi anggota masyarakat terdidik dan bahkan para pejabat penting di negeri ini. Tanpa merasa malu apalagi salah, usai diwisuda di hotel dan tempat-tempat rekreasi, peserta langsung memasang gelar di depan atau belakang namanya. Be­berapa di antaranya meng­gu­na­kannya untuk kepentingan politik. Mr. Karen juga me­ngang­guk-angguk dengan pen­jelasan saya ini.

Mr. Karen bahkan menam­bah­kan ‘Iya ya, saya membaca koran lokal. Ada orang korupi milyaran dan bahkan trilyunan rupiah dengan enaknya berpesiar di luar negeri dan bahkan dapat menemui presiden di Istana Negara. Tetapi seorang pencuri se­ekor ayam untuk membayar SPP anaknya dan tertangkap ba­sah pemiliknya dihajar sampai ba­bak belur dan dibawa ke kan­tor polisi. Kasihan ya pak” lanjut Mr. Karen lagi.

Sambil tersipu malu, saya men­jawab” Ya memang prak­tik hukum di negeri ini masih gombal pak. Ada perbaikan dari periode pemerintahan se­be­lumnya, tetapi belum signi­fi­kan. Berbeda dengan di ne­geri anda yang sudah mapan” jawab saya sambil menghibur diri. Setelah itu obrolan dengan Mr. Karen berhenti karena pem­­bicara seminar yang di­tunggu telah datang dan Mr. Karen belum sempat meres­pons pernyataan saya.

Sambil bergegas masuk ruang se­minar, dalam batin saya berpikir obro­lan dengan Mr. Karen akan saya tulis dalam kolom GEMA, tabloid UIN Malang. Sebe­lum­masuk ke redaksi GEMA, se­orang kawan sempat membaca ko­lom ini dan berujar,”tentang gom­bal saja kok ditulis seperti ini pak”,! Saya sambil tersenyum dan berlalu.

1 komentar:

  1. Sepertinya Kamus yg dibaca Mr Karen perlu diupdate. Karena kata2 'GOMBAL' sebenarnya ada di dalam kamus! yang artinya 'bohong, omong kosong'

    Yang artinya sedikit berbeda dengan: 'sesuatu yg tidak berarti'

    Tapi memang bahasa Indonesia kadang agak kurang konsisten (menurut saya lo Bapak :P)

    -opi-

    BalasHapus