Rabu, 02 Desember 2009

KONSEP DAN PARADIGMA KEILMUAN ISLAM

KONSEP DAN PARADIGMA KEILMUAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG:
Konsepsi, Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Oleh Mudjia Rahardjo


Segala jenis pengetahuan, dalam tinjauan filsafat, memiliki tiga tiang penyangga. Pertama, ontologi, yang merupakan asas penetapan ruang lingkup serta asas penafsiran akan hakikat pokok objek pengetahuan tersebut. Kedua, epistemologi, yang merupakan asas metodologik pemerolehan dan penyusunan bangunan pengetahuan. Ketiga, aksiologi, yang merupakan asas tujuan dan pemanfaatan pengetahuan.

Berdasarkan kekhususan ontologik, epistemologik, dan aksiologik masing-masing pengetahuan, bisa dibuat penggolongan ragam pengetahuan. Pertama, tentang objek pengetahuan yang pada intinya mempertanyakan mengenai apa yang ingin diketahui oleh suatu jenis pengatahuan, bagaimana wujud hakikat dari objek tersebut, dan bagaimana hubungan objek pengetahuan itu dengan akal budi dan daya serap manusia. Kedua, bertali-temali dengan cara dan piranti pemerolehan pengetahuan, yang mencakup prosedur apa yang harus dilalui, hal-hal apa yang harus diperhatikan agar diperoleh pengetahuan yang benar. Ketiga, berkenaan dengan nilai dan kegunaan serta keterkaitan pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral, yang lebih utama kaitan ilmu dengan agama.

Hingga kini, telah berkembang suatu paradigma sekularistik keilmuan yang begitu menonjol, sehingga seolah-olah tiada lagi keragaman, melainkan keseragaman. Paradigma ini secara tegas mengesampingkan, kalau tidak malah menolak, agama sebagai sumber ilmu. Tak bisa dihindari, karena antara agama dan ilmu sama-sama mengajukan dan bertujuan mencapai kebenaran, maka seolah terjadi persaingan antara ilmu dengan agama. Kebenaran ilmu dipertentangkan dengan kebenaran agama. Akibat lebih lanjut dari cara pandang demikian adalah munculnya konsep kebenaran keilmuan dan kebenaran agama.

Melalui penelusuran, penafsiran, dan perumusan ulang atas kecenderungan paradigmatik tersebut, uraian berikut bermaksud mengembalikan pemahaman, kegairahan, dan cita-cita keberilmuan sebagai bagian dari kemuliaan keberagamaan Islam. Untuk itu, penyajian ditata menjadi empat bagian, yaitu: (1) konsepsi Islam tentang ilmu, (2) landasan ontologi ilmu Islam, (3) landasan epistemologi ilmu Islam, dan (4) landasan aksiologi ilmu Islam.

A. Konsepsi Islam tentang Ilmu

Kata ilmu dalam bahasa Arab berarti pengetahuan dalam arti amat luas. Kata ilmu sering disama-artikan dengan kata al-ma'arif, asy-syu’ur, walaupun sebenarnya terdapat sejumlah perbedaan mencolok dalam penggunaan. Kata ma'arif menunjuk pada pemerolehan pengetahuan melalui pengalaman atau perenungan. Karena itu, ia didahului oleh ketidaktahuan. Dengan demikian, kata ma’arif tidak dapat diterapkan terhadap pengetahuan Allah. Kata syu'ur lebih menunjuk kepada persepsi, terutama mengenai rincian hal-ikhwal tertentu, sehingga kata ini memiliki keterbatasan serta tidak dapat digunakan untuk menjelaskan pengetahuan Allah.

Al-'Alim adalah sifat utama Allah. Ia termasuk dalam tujuh sifat penting Allah yang dikenal sebagai ummus-shifat (sifat-sifat tertinggi). Karena itu, kata al-'ilmu merupakan satu-satunya kata yang bersifat melingkupi (komprehensif), serta dapat digunakan untuk menggambarkan pengetahuan Allah. Al-Qur’an menyatakan dalam (QS. al-Hasyr: 22):

Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Pengetahuan Allah niscaya melampaui semua gejala, materi dan alam semesta, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat oleh manusia, yaitu seluruh ciptaan atau makhluk Allah. Pengetahuan maha luas berikut ekspresi dan manifestasinya ini yang dimaksud oleh Al-Qur’an (QS. Luqman:27) bahwa:

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah[1183]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Di atas pengetahuan tentang benda-benda terdapat pengetahuan tentang hubungan antara benda-benda itu satu sama lain dan akhirnya pengetahuan tentang hubungan benda-benda itu dengan Penciptanya. Hubungan yang terakhir ini mempunyai makna amat penting bagi setiap Muslim yang ingin mengabdi kepada dan mengagungkan asma Allah. Upaya untuk memperoleh kebenaran atau pengetahuan tentang realitas yang tuntas dan tiada akhir serta hubungannya dengan makhluk dan dengan diri manusia sendiri itu, yang diminta oleh Nabi Muhammad saw dalam doa beliau:

"Rabbi zidni 'ilma"
(Ya Tuhanku, tambahkan dan kembangkan pengetahuanku)

Al-Qur’an adalah Kitab Allah yang pertama yang harus senantiasa dibaca dan dikaji semua umat Muslim. Melalui Al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia menggunakan segenap kemampuan penalarannya untuk memahami kebenaran tersebut. Tujuannya adalah membersihkan dan menyucikan hati orang-orang yang beriman.

[Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia menulis) dengan perantaraan kalam. (Dan) yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya]. (QS. al-‘Alaq: 3-5)

[Katakanlah (Muhammad), apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Hanya orarng-orang berakal sajalah yang dapat mengetahuinya] (QS. Az-Zumar:9)

(Sesungguhnya hanya orang-orang yang berilmu di antara hamba-hamba Allah sajalah yang paling takut kepada-Nya) (QS. Fathir: 28)

(Demi pena dan apa yang ditulis dengannya) (QS. al-Qalam:1)

Tampak jelas betapa penting pengetahuan dalam Islam. Pun demikian jelas bahwa Al-Qur’an itu merupakan kitab ilmu juga.

Jika terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan al-'ilmu itu ditambahkan keterangan-keterangan dari beberapa hadits Nabi, akan sangat terasa bahwa seolah-olah tujuan utama hidup manusia adalah memperoleh ilmu. Ilmu yang bermanfaat berfungsi menjamin keselamatan orang tak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Keberilmuan sebagai landasan kebertaqwaan merupakan tujuan setiap muslim.

Karena merupakan kalam Allah, maka kitab Al-Qur’an itu sendiri berisi semua pengetahuan baik tentang segala sesuatu yang tampak (shahadah) maupun yang terselubung (ghaib) dan berisi landasan untuk menemukan kebenaran. Untuk memahami secara baik pesan-pesan yang dikandungnya, Nabi Muhammad SAW menjadi penunjuk jalan. Beliau merupakan teladan terbaik, karena jiwa beliau senantiasa menyatu dengan Allah yang pengetahuan-Nya melampaui segala sesuatu.

Agar dalam mencari kebenaran tidak jauh menyimpang dari konsepsi Al-Qur’an, secara ringkas dapat dikemukakan beberapa kaidah dan paduan. Pertama, agama adalah peristilahan Indonesia. Islam adalah peristilahan Al-Qur’an. Karena itu, makna agama dalam kaitan Islam harus dijabarkan sesuai dengan konsepsi Al-Qur’an, bukan dengan konsepsi lain karena bisa menjadi berbeda sekali makna dan ruang lingkupnya.
Kedua, peristilahan Al-Qur’an untuk pengganti istilah agama adalah "Dien" sehingga kata-kata "Dienullah" sering diganti dengan agama Allah, atau kata Dienul Islam, sering diganti dengan Agama Islam. Jadi penjabaran dari istilah agama Islam dalam kaitan dengan ad-dien harus dijelaskan dengan konsepsi Al-Qur'an tentang Dien tersebut.

Ketiga, arti Dienullah pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem ciptaan Allah. Termasuk di dalamnya adalah kaidah-kaidah Allah yang melekat dalam sistem tersebut. Kalau Dienullah dihubungkan dengan kehidupan manusia, maka Dienullah menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia dengan lingkungannya, dalam arti lingkungan luas.
Keempat, penggambaran pandangan Islam tentang kehidupan bisa disajikan sebagai berikut:




Kelima, pada setiap ciptaan Allah, baik yang empirik maupun non-empirik terkandung Sunnatullah (ketetapan Allah). Sunnatullah yang terdapat pada setiap ciptaan tersebut bisa bersifat struktural maupun fungsional. Ketetapan struktural adalah karakteristik struktural suatu ciptaan, baik struktur dasar maupun struktur rinci. Ketetapan fungsionai adalah ciri peran agau kegunaan dan antar-hubungan di antara ciptaan-ciptaan tersebut, baik yang bersifat dasar maupun rinci.

Keenam, Allah sebagai Pencipta, dalam Islam sebagai Dienullah, dengan tegas menyuruh manusia untuk mengenal, dunia secara utuh, bukan pandangan menyebelah (partial). Perintah itu dilengkapi dengan modalitas baik berupa indra maupun akal budi manusia, agar dengan bekal itu manusia berusaha keras, tekun, dan sungguh-sungguh mengenal sunnatullah sebanyak-banyaknya. Islam menempatkan manusia di tengah sistem ciptaan Allah sebagai ciptaan atau makhluk yang paling sempurna strukturnya dan mungkin paling berat tetapi mulia fungsinya.

Tampak jelas bahwa ilmu (science) dalam makna yang banyak dipahami sekarang, dalam pandangan Islam sebagai Dienullah merupakan usaha manusia sekaligus hasilnya dengan menggunakan kemampuan manusiawinya untuk mengenal sunnatullah dunia empirik dari sistem ciptaan Allah yang Maha Besar. Usaha dan proses pengenalan Sunnatullah oleh manusia harus dilakukan dengan penuh kesungguhan, ketekunan, ketabahab, sistematika, dan bukan sambil lalu saja. Ini berarti bahwa semakin rumit sifat Sunnatullah yang ingin dipahami dan dijelaskan, maka dituntut untuk lebih tekun dan lebih sungguh-sungguh lagi. Al-Qur’an memberikan peristilahan khusus untuk usaha yang sungguh-sungguh, serius, sistematis, dan tekun, yaitu: "nadhara"
Pencermatan terhadap ragam objek ilmu yang tidak lain adalah ragam ciptaan Allah, maka Sunnatullah bisa digolongkan sebagai berikut:



Akhirnya, menempatkan A1-Qur'an sebagai sumber segala Sunnatullah berarti menerima tuntutan untuk menjadikannya sebagai rujukan utama (principal reference) dalam setiap upaya penelaahan, penjelajaan, dan penggalian rahasia hidup dan kehidupan, termasuk di dalamnya adalah rahasia alam semesta dan diri manusia sendiri.
Berdasarkan konsepsi Islam atas ilmu, yang tidak terbatas pada science, berikut akan disajikan landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu Islam.

B. Landasan Ontologi Ilmu Islam

Pertanyaan penting yang hendak dijawab melalui tinjauan ontologik adalah apa yang ingin diketahui melalui ilmu? Pertanyaan ini selanjutnya melahirkan sejumlah spekulasi filosofis dan teoretik tentang “ada”. Paling tidak ada dua teori yang memberikan pandangan yang saling berbeda tentang objek ilmu. Kedua teori tentang ada ini bersumber pada dua aliran filsafat.

Teori pertama dikenal dengan realisme. Sejalan dengan namanya, teori ini berupaya memandang secara realistis terhadap setiap fenomena. Menurut teori ini, sebagai sekumpulan pengetahuan, ilmu merupakan gambaran yang benar dari alam nyata. Jadi gambaran yang ada dalam alam pikiran dipandang sebagai salinan asli dari realitas yang berada di luar alam pikiran. Realisme berpendapat bahwa ilmu akan mendapai dan menghadirkan kebenaran apabila sesuai dengan kenyataan.

Teori kedua disebut idealisme. Menurut idealisme, gambaran yang benar yang tepat sesuai dengan kenyataan sebagimana diteorikan oleh realisme merupakan sesuatu yang mustahil, sesuatu yang tidak mungkin. Karena itu, idealisme mentakrif hakikat ilmu sebagai hasil dari proses mental yang niscaya bersifat subjektif. Pengetahuan bagi penganut idealisme bukan hanya merupakan gambaran subjektif, bukan gambaran objektif tentang kenyataan. Dengan demikian, pengetahuan menurut teori idealistik ini tidak memberikan gambaran yang tepat tentang kenyataan di luar alam pikiran manusia.

Sebegitu jauh, apa yang disebut objek ilmu sekarang hanya dibatasi pada objek empirik yang dapat ditangkap dengan indra atau piranti pembantu indra. Karena itu, apa pun yang mengkaji objek non-empirik akan segera dituding sebagai tidak ilmiah, dan bukan ilmu. Apa pun yang berada luar dunia empirik, tidak menjadi objek ilmu, tetapi menjadi objek jenis pengetahuan lain, seperti agama bagi mereka yang percaya terhadap agama. Dengan demikian, sebagaimana dikupas sebelumnya, ilmu dan agama menjadi dua ranah yang sama sekali tidak bersinggungan, atau bahkan seringkali dipertentangkan. Agama dipahami hanya berurusan dengan hal-ikhwal yang tidak terjangkau oleh pengalaman empirik manusia.

Pandangan demikian telah membawa perubahan besar pada pola pikir manusia dan masyarakat modern, yang mendasarkan diri pada filsafat rasionalisme dan empirisme, sehingga realitas yang dianggap nyata adalah yang empirik, atau yang bisa dipikirkan secara rasional. Di luar semua itu, dipandang dan diyakini sebagai sesuatu yang tidak nyata.

Apabila pandangan tentang agama sedemikian itu diarahkan kepada Islam, maka terdapat kekeliruan amat besar, sebab Islam tidak mengenal pemisahan ilmu dari agama. Ilmu merupakan bagian tak terpisahkan dari agama Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam bagian konsepsi ilmu menurut Islam, hukum Allah terentang dan melingkup alam shahadah (empirical world) dan alam ghaib (non-empirical world). Islam sama sekali tidak menolak pengalaman empirik sebagai bagian dari objek ilmu. Namun demikian, dengan jelas pula bahwa Islam tidak menempatkan dunia empirik sebagai satu-satunya kawasan kajian ilmu, sebab masih ada alam ghaib. Lebih jauh, Islam mengakui adanya aspek transendental dari kenyataan empirik yang didasarkan pada pemahaman dan keyakinan tauhid.

Walaupun pandangan Islam mengakui adanya metafisika ilmu, faham metafisika yang tidak berlandaskan tauhid Islam seperti animisme, naturalisme dan materialisme, tidak dapat diterima. Animisme mengembangkan metafisika bahwa alam dan manusia dikuasai oleh wujud-wujud yang bersifat gaib dan magis. Sebaliknya metafisika naturalisme hanya menerima pandangan yang menyatakan bahwa yang ada itu semata-mata realitas alam. Sedangkan metafisika materialisme, yang merupakan turunan naturalisme, meyakini bahwa bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan ghaib, melainkan oleh kekuatan material itu sendiri.

Islam menolak empirisme maupun rasionalisme yang tidak terpisah secara mendasar dengan keyakinan tauhid. Islam juga menolak pandangan metafisika ilmu yang didasarkan pada paham animisme, naturalisme dan materialisme. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, orang-orang yang berpandangan empirisme-rasionalisme semata merupakan orang-orang yang dikebiri oleh tipuan duniawi sehingga mereka lalai terhadap matra ukhrawi kehidupan.

"Mereka hanya mengetahui yang lahiriah saja dari kehidupan dunia, dan mereka lalai akan kehidupan akhirat" (Q.S. ar-Ruum:7)

Islam tidak menafikan fakta empirik sebagai objek ilmu, sebaliknya Islam justru mempertahankan cara pandang empirik (empirical views), tetapi tidak mengabaikan objek ilmu lainnya, karena cakrawala pemikiran membentang luas dengan bidang lebar tampa batas.

Al-Qur'an mengisyaratkan betapa objek ilmu begitu luas, seluas ayat¬a-ayat Allah, baik yang ada di cakrawala, dalam diri manusia maupun ayat-ayat sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an. Islam mengakui dan menegaskan adanya tanda-tanda pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah. Al-Qur’an memberikan penekanan agar manusia mengamati, mengkaji, dan merenungkan tanda-tanda keagungan Allah.

"Demikianlah Allah menjelaskan bagi kamu ayat-ayat-Nya supaya kamu memikirkan perihal dunia dan akhirat" (Q.S. al-Baqarah:219).

Sejalan dengan konseptualisasi ilmu menurut Islam, ayat-ayat Allah tergolong menjadi tiga bentuk yaitu: (1) ayat Allah dalam Al-Qur’an (scripture), (2) ayat-ayat Allah yang ada di afaq (macro-cosmos), dan (3) ayat-ayat Allah yang ada di anfus (micro-cosmos). Menurut Al-Qur’an, kelompok ayat afaq dan anfus dapat dijadikan bukti kebenaran Al-Qur’an.

"Akan kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di alam (afaq) dan di dalam diri mereka sendiri (anfus), sehingga menjadi jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu membawa kebenaran. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup bagi kamu bahwa Dia menyaksikan segala sesuatu" (Q.S. Fusshilat:53).

Penegasan ini memberikan gambaran mengenai penggolangan ilmu sekarang berdasarkan objeknya, yaitu: ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) yang lahir dari penelitian dan pemikiran tentang fenomena-fenomena afaq (macro-cosmos) dan ilmu-ilmu kemanusiaan (human science) yang lahir dari pendalaman dan pemikiran tentang anfus (micro-cosmos) berupa gejala-gejala pola dan prilaku serta ungkapan kejiwaan manusia.

Al-Qur’an mengajak manusia untuk menyingkap berbagai fenomena kealaman dan kaitannya dengan manusia serta merenungkan secara positif tentang proses penciptaannya, sehingga tumbuh kesadaran yang benar mengenai sang Pencipta. Al-Qur’an merangsang manusia untuk menyelidiki materi yang mendasari penciptaan, proses penciptaan, dan proses perubahan fenomena alam. Itu semua menyakut fenomena afaq. Al-Qur’an juga mendorong manusia mempelajari keunikan diri mereka sendiri, mulai dari segi karakteristik hayatinya, hingga perwatakan jiwanya. Manusia juga disuruh belajar dari sejarah. Ini semua berkaitan dengan fenomena anfus.

Kendati metafisika ilmu Islam mengakui keterbatasan manusia dalam mencapai hakikat, yang dengan demikian pengetahuan manusia tidak pernah bersifat mutlak, tidak berarti seorang ilmuwan muslim harus bersikap pesimistik. Kenisbian ilmu harus dikaitkan dengan keyakinan keagamaan sebagai jalan untuk mencapai kebenaran hakiki yang dilandasi. Islam menghargai proses menuju kesempurnaan dalam segala hal, walaupun kesempurnaan sejati semata-mata milik Allah. Ini merupakan paham tauhid yang harus diyakini secara mantap.

Islam memuliakan ilmu yang didasarkan kepada pengalaman empirik-rasional (science), dan bahkan Islam mendorong agar manusia menggunakan indra dan nalarnya untuk memahami fenomena kealaman, termasuk fenomena yang ada pada diri manusia sendiri. Namun demikian, semua itu harus berpangkal dan berujung kepada penguatan tauhid, karena derajat menjadi mutaqin merupakan cita-cita tertinggi setiap pribadi muslim, ilmuwan ataupun bukan ilmuwan.

C. Landasan Epistemologi Ilmu Islami

Penelaahan landasan epistemologi ilmu dimaksudkan untuk memberikan kejelasan mengenai persoalan yang berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan. Karena itu, epistemologi ilmu bersangkut-paut dengan prosedur dan proses yang memungkinkan seseorang memperoleh ilmu. Lebih jauh, epistemologi membahas tidak hanya cara-cara yang benar untuk memperoleh ilmu, tetapi juga mempersoalkan konsep dan kriteria kebenaran keilmuan. Dengan mempertimbangkan bahwa selama ini sudah berkembang epistemologi yang bertolak dari kaidah pemisahan antara kebenaran ”ilmiah” dan kebenaran ”agama” (secular) maka tidak bisa dihindari, bagian ini juga menyandingkan dan membandingkan antara paradigma sekularis dengan paradigma Islam.

Lazim diterima bahwa pengetahuan merupakan istilah umum (general term) yang mencakup segenap bentuk pengetahuan, maka secara garis besar pengetahuan dapat digolongkan menjadi tiga kategori utama yaitu: (1) pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang buruk (ethics), (2) pengetahuan tentang apa yang indah dan apa yang jelek (esthetics), dan (3) pengetahuan tentang apa yang benar dan apa yang salah (logics).
Pengartian logika secara luas, yang tidak hanya menyangkut kaidah-kaidah penalaran dan penarikan kesimpulan, akan menempatkan sains bentuk pengetahuan tentang apa yang benar dan apa yang salah, sehingga bisa dikategorikan sebagai bagian dari logika.
Dalam makna terbatas sebagai sains, memang benar bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang berupaya menjelaskan rahasia alam agar gejala-gejala alamiah terpahami, sehingga tidak lagi menjadi misteri. Dalam pengertian terbatas ini, ilmu membatasi ruang jelajahnya pada pengalaman manusia. Artinya, objek penelaahan ilmu meliputi segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat penerapan indranya.

Pembatasan ontologis tersebut berimplikasi pada kaidah-kaidah epistemologis ilmu dalam perspektif sekularisme. Implikasi paling kentara dari pembatasan ontologis tersebut berupa penerapan semata-mata dua landasan filsafat ilmu, yaitu: rasionalisme dan empirisme. Apa yang dikenal sebagai metode sains modern adalah perpaduan antara dua aliran besar dalam epistemologi beserta implikasinya. Secara terbagan hal ini bisa disajikan sebagai berikut:



Tampak bahwa epistemologi rasionalisme meyakini pikiran sebagai sumber pengetahuan, menerapkan teori kebenaran koherensi, mengandalkan metode penyimpulan deduktif, sehingga hakikat kesimpulannya adalah derivasi dari premis-premis yang lebih umum, dan menghasilkan jenis pengetahuan apriori. Sebaliknya, epistemologi empirisme meyakini indra sebagai sumber pengetahuan, menerapkan teori kebenaran korespondensi, mengandalkan metode penyimpulan induktif, sehingga hakikat kesimpulannya adalah generalisasi dari kasus-kasus spesifik, dan menghasilkan jenis pengetahuan aposteriori.

Diletakkan dalam kontinum idealisme-realisme, maka perpaduan epistemologi rasionalisme dan empirisme melahirkan dua paradigma besar kajian (paradigm of inquiry), yaitu: positivisme dan interpretivisme. Dengan ungkapan lain, positivisme adalah perpaduan rasionalisme dengan empirisme dengan kecenderungan realisme, sedangkan interpretivisme adalah perpaduan antara rasionalisme dengan empirisme dengan kecenderungan idealisme.

Bagi kaum positivis-realis, ilmu pengetahuan merupakan gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata. Pencitraan atas alam nyata sebagaimana tergambar dalam alam pikiran, menurut kaum positivis-realis, merupakan salinan objektif dari fenomena yang berada di luar akal manusia. Realisme berpendapat bahwa ilmu pengetahuan membawa kebenaran apabila sesuai dengan kenyataan. Bagi kaum interpretivis-idealis, gambaran yang benar-benar tepat, sesuai dengan kenyataan merupakan suatu kemustahilan, karena pengetahuan merupakan proses¬ mental yang bersifat subjektif. Karena itu, pengetahuan bagi seorang interpretivis-idealis hanya merupakan gambaran subjektif, bukan gambaran objektif tentang kenyataan. Pengetahuan keilmuan tidak pernah terlepas dari bingkai subjek manusia.

Ada tiga kriteria umum yang senantiasa dijadikan tolok-ukur oleh para ahli untuk menentukan apakah suatu pengetahuan menemukan atau mencapai "kebenaran”. Pertama, kriteria koherensi yaitu teori kebenaran yang didasarkan pada konsistensi argumentasi. Jika pengetahuan tersebut dikembangkan berdasar alur berpikir yang konsisten, maka kesimpulan yang ditarik¬nya adalah benar. Sebaliknya apabila dasar argumentasi yang digunakan tidak konsisten, maka kesimpulan yang ditariknya adalah salah. Secara keseluruhan agar dapat disebut benar, argumentasi konsisten tersebut juga harus bersifat koheren. Ini berarti bahwa selain alur pemikiran bersifat konsisten, keseluruhan komponennya juga harus terpadu secara utuh, baik ditinjau dari sudut argumentasi, maupun dari sudut pengetahu¬an-pengetahuan sebelumnya yang dianggap benar.

Kedua, kriteria korespondensi yaitu teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang kesesuaian antara aspek proposisional dengan aspek material, antara pernyataan dengan kenyataan. Sebuah proposisi yang menyatakan bahwa air laut berasa asin, akan diterima sebagai kebenaran sepanjang kenyataan menunjukkan bahwa air laut berasa asin. Sebaliknya, ketika suatu pernyataan tidak sesuai dengan kenyataan maka pernyataan tersebut harus dinyatakan salah. Kebenaran dan kesalahan dalam teori korespondensi disimpulkan berdasarkan proses pengujian empirik (empirical verification).

Ketiga, pragmatisme yaitu teori kebenaran yang mendasarkan diri kriteria keberfungsian suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Jadi sejauh suatu proposisi bersifat fungsional untuk menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan suatu gejala, maka secara pragmatik proposisi teoretik itu dinyatakan benar. Sejalan dengan waktu, apabila masyarakat ilmiah bisa mengajukan proposisi teoretik yang lebih fungsional, maka proposisi teoretik yang lebih fungsional yang akan diterima sebagai kebenaran.

Demikian gambaran umum mengenai epistemologi ilmu yang berakar pada sejumlah aliran filsafat sekuler. Tidak bisa dipungkiri bahwa epistemologi ilmu sekularistik telah mengantarkan umat manusia kepada ilmu dan teknologi modern. Sebegitu jauh, juga tidak bisa dipungkiri bahwa ilmu dan teknologi hanya bisa menyediakan manusia kendaraan untuk sampai ke tempat yang dituju. Sedangkan pertanyaan lebih jauh tentang untuk apa setelah sampai di tempat yang dituju, ilmu dan teknologi modern sama sekali tidak memberikan jawaban. Karena itu, di kalangan ilmuwan berkembang kaidah yang memikat tetapi berbahaya, bahwa ilmu dan teknologi adalah netral.
Alih-alih mengadopsi begitu saja epistemologi keilmuan sekularistik, umat Islam perlu mengembangkan secara khusus epistemologi keilmuannya. Sudah barang tentu, titik tolak yang digunakan adalah Al-Qur’an yang diyakini merupakan petunjuk bagi umat manusia. Karena itu, berikut disajikan sejumlah asumsi dasar dan metodologi keilmuan Islam.

1. Asumsi Dasar Keilmuan Islam

Asumsi dasar pertama epistemologi keilmuan Islam berkenaan dengan prinsip ketauhidan. Pengakuan terhadap kemaha-esaan Allah merupakan prinsip paling dasar dalam agama Islam. Prinsip tauhid itu merupakan prinsip bahwa Allah tunggal secara mutlak, dan secara metafisis dan aksiologis adalah Yang Maha Esa dan Maha Pencipta.

Tiada wujud tanpa Engkau
Semua wujud dari Engkau
Tiada kuasa tanpa Engkau
Semua kuasa dari Engkau
Tiada mungkin tanpa ijin-Mu
Semua mungkin karena titah-Mu

Penjabaran selanjutnya dari prinsip tauhid ini berupa pengakuan terhadap kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan. Ini sejalan dengan pelukisan Al-Qur’an bahwa fenomena alam merupakan tanda-tanda keberadaan Allah. Semua yang ada dan terjadi pada akhirnya menuju kepada satu pencipta, pengatur dan penggerak. Bahwa alam semesta berlansung dalam keteraturan, keterpaduan, dan keutuhan sistemik secara logik bisa diterima manakala dilandasi oleh penerimaan prinsip ketunggalan sang Pencipta, yakni Allah (lihat antara lain Q.S., 6:102; 7:54; 10:3; 13:2; 39:62; dan 40:60).

Asumsi dasar kedua adalah keyakinan adanya kenyataan di luar akal pikiran manusia. Al-Qur’an mengakui ada realitas di luar akal pikiran manusia, berpikir atau tidak, di luar akal realitas tetap ada. Al-Qur’an berulangkali menyebutkan bahwa realitas alam terpisah dari akal pikiran (lihat misalnya Q.S.10;102 dan Q.S. 7:185).

Al-Qur’an memberikan komfirmasi terhadap kemampuan kegiatan manusia dalam usaha untuk mengetahui realitas-realitas di luar akal. Demikian pula, Al-Qur’an menunjukkan bahwa di alam semesta ini terdapat sumber pengetahuan yang menunggu untuk dikaji. Demikian prinsip kedua yang menjadi asumsi dasar keilmuan dalam Islam.
Asumsi dasar ketiga adalah baha realitas dapat diketahui. Begitubanyak perintah dalam Al-Qur’an agar manusia mencermati, menalar, dan merenungkan tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan Allah di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa realitas dapat dan diperintahkan untuk diungkap oleh manusia. Jika manusia tidak mungkin mengetahui realitas itu, tentu Al-Qur’an tidak akan menyuruh manusia bertafakur tentang apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi, serta merenungkan dan mengambil pelajaran dari padanya. Beberapa ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan pedoman untuk mendukung asumsi tersebut (misalnya' Q.S. 27:93; 6:75; dan 41:53).

Asumsi dasar keempat adalah bahwa fenomena alam bertautan secara sebab-akibat. Prinsip ini mengandung dua pengertian. Pertama, setiap sebab mempunyai akibat dan setiap akibat tidak mungkin terjadi tanpa sebab. Kedua, sebab yang sama menimbulkan akibat yang sama pula. Hal ini disebut kausalitas atau sunnatullah. Dalam Al-¬Qur'an istilah "sunnah" juga menunjuk kepada hukum-hukum yang terjadi secara berulang-ulang dan tidak berubah-ubah, terjadi di alam semesta ini.

2. Metodologi Keilmuan Islam

Sekurang-kurangnya ada tiga cara yang ditunjukkan dalam Al-Qur’an tentang bagaimana manusia bisa memperoleh pengetahuan, yakni: (a) melalui kegiatan indra, (b) melalui pemikiran akal, dan (c) melalui penerimaan wahyu. Dua yang pcrtama telah diakui dalam kerangka epistemologi keilmuan sekuler, tetapi cara yang terakhir hanya diakui dalam kerangka epistemologi Islam. Dan urutan penyebutannya menunjukkan urutan tingkatan dan derajat keilmuan dalam Islam.

Al-Qur’an menyebutkan awal mula pengetahuan adalah melalui pengamatan indrawi. Al-Qur’an mengecam orang-orang yang tidak menggunakan indranya untuk memperoleh pengetahuan yang berguna (lihat Q.S. 16:78; 22:46; 7:179; dan 50:37). Ayat-ayat tersebut menyebutkan bahwa dua piranti pengetahuan indra yang terpenting adalah "a'yun" (penglihatan) dan "azan" (pendengaran) serta satu piranti pengetahuan akal yaitu "qulub" (hati yang berpikir dan menimbang). Penglihatan dan pendengaran merupakan piranti pengetahuan karena keduanya merupakan alat yang sangat penting dalam memperoleh pengetahuan yang indrawi. Sedangkan hati dalam terminologi Al-Qur’an menunjuk kepda daya untuk merenungkan, memahami dan menimbang (lihat Q.S. 16: 78).

Allah telah melahirkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak berpengetahuan tentang sesuatu pun, lalu Allah menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur kepada-Nya" (Q.S.an-Nahl: 78).

Walaupun pengetahuan melalui indra diakui keberadaannya, Al-Qur’an juga menjelaskan keterbatasan piranti-piranti indra untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Bahkan Al-Qur’an mengecam orang-orang yang hanya mengandalkan indranya untuk sampai kepada kebenaran. Al-Qur’an menyindir orang-orang yang hanya menganggap pengetahuan yang benar terletak pada apa yang dapat diamati secara indrawi sebagai sekedar mengetahui yang zahir saja dari kehidupan dunia, dan mereka lalai terhadap kepentingan akhiratnya.

Di atas pengetahuan yang diperoleh melalui penye¬rapan dan pengamatan indrawi adalah pengetahuan yang diperoleh kegiatan berpikir logik-sistematik lewat (ta'aqqul). AI-Qur'an sering menyebutkan adanya penge¬tahuan yang diperoleh melalui kegiatan ta'aqqul (merenungkan dan memikirkan), tafaqquh (memahami), dan nazhr (menalar). Daya yang mempunyai fungsi ta'aqqul dan tafaqquh itu, oleh Al-Qur’an disebut "al-qalb" dan "fuad" (QS 16: 78, dan QS 7: 179). Benar akal membutuhkan bantuan indra untuk memperoleh pengetahuan, tetapi akal pula yang menyusun kesan-kesan indrawi itu secara logis dan sistematis.

Betapapun tinggi pengetahuan akal dibandingkan dengan pengetahuan indra, akal juga dapat jatuh ke dalam kekeliruan-kekeliruan, dan dengan demikian tidak membawa kepada pengetahuan yang benar. Selain karena keterbatasan akal sendiri, ada pula beberapa faktor yang mengacaukan akal, sehingga jatuh ke dalam kekeliruan-kekeliruan yang fatal. Karena itu berlaku prinsip bahwa penalaran yang paling rasional adalah yang menyadari keterbatasan penalaran rasional.

Epistemlogi keilmuan Islam mengakui keabsahan pengetahuan lain yang berasal dari wahyu. Allah sebagai sumber segala pengetahuan berkuasa memberikan ilmu kepada siapa saja yang dikehendaki¬ tanpa harus melalui jalur penalaran rasional atau pengamatan empirik. Pengetahuan yang didapat melalui wahyu, secara langsung hanya diperoleh oleh para Nabi dan Rasul Allah. Sedangkan pengetahuan yang didapat melalui ilham, diterima oleh orang-orang tertentu yang dianugerahkan Allah kepadanya.
Meskipun pengetahuan wahyu secara langsung hanya diperoleh olah para Nabi dan Rasul Allah, namun wahyu yang diturunkan kepada mereka, khu¬susnya bagi umat Islam yang diturunkan melalui Nabi Muhammad s.a.w., berupa Al-Qur’an, menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an hanya akan menjadi petunjuk bagi manusia apabila kandungannya dipelajari, dipahami dan diterapkan. Ka¬rena itu, wahyu merupakan bagian dari khasanah keilmuan Islam. Bila diletakkan kembali dalam kerangka kebenaran ilmu Allah yang bersifat mutlaq, maka pengetahuan wahyu mempunyai tingkat kebe¬naran tertinggi.

D. Landasan Aksiologi Ilmu Islam

Sebagaimana diuraikan di atas, landasan aksiologi mempertanyakan, untuk apa ilmu itu dipergunakan. Ini menyangkut nilai kegunaan ilmu. Apakah ilmu harus diorientasikan kepada kemaslahatan manusia saja ataukah untuk kemaslahatan alam pada umumnya? Apakah ilmu bebas nilai? Bila tidak, nilai apakah yang harus membimbing ilmu?
Al-Qur’an sering memerintah agar kita merenungkan ayat¬-ayat Allah yang ada di alam semesta ini (qauniyah). Perintah tersebut menunjukkan kepada kita bahwa kita dapat mengetahui realitas.

Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami d segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu (Q.S. Fushshilat:53).

Tampak bahwa Al-Qur’an mengemukakan tentang realitas agar manusia mau memikirkan sesuatu dan tidak hanya rnengandalkan akal semata-mata. Manusia diajak dan ditantang untuk mengkaji hakikat realitas yang ada agar kebenaran hakiki dapat dicapai.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai ilmu pengetahuan dan akal pikiran manusia mempunyai beberapa pertimbangan, terutama yang berkaitan dengan arah dan tujuan ilmu pengetahuan. Di antara pandangan Islam terhadap nilai ilmu adalah:
Pertama, ilmu pengetahuan merupakan usaha bersama untuk mengenal tanda-tanda kekuasaan Allah. Dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan, hanya orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang dapat mengenal dan mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah. Artinya dengan ilmu manusia mampu mengetahui tanda-tanda kebesaran Allah (Q.S. 10:5; Q.S. 51:20).

"Dialah Allah yang menjadikan Matahari bersinar, dan bulan bercahaya, ditetapkan manzilah-manzilah (tempat bagi perjalanan bulan) supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan baik. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang rnengetahui" (Q.S.Yunus:5).


"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin" (Q.S. adz-Dzariyyat:20).

Penegasan Islam ini bertentangan dengan epistemologi sekuler yang dengan kemampuan akal pikiran dan pengetahuan, cenderung mengingkari keberadaan Tuhan dan tanda-tanda kekuasaan-Nya. Seperti kepercayaan mereka kepada hukum sebab-akibat yang pada akhirnya menolak kekuasaan Tuhan terhadap seluruh fenomena alam ini.

Kedua, ilmu pengetahuan berusaha menemukan keteraturan alam dan tujuan di balik keteraturan itu. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan sangat teratur dan dalam keadaan seimbang. Keteraturan dan keseimbangan ini dijaga oleh Allah sedemikian rupa sehingga tidak ada cacat di dalamnya. Kalau ilmu pengetahuan modern sekuler meyandarkan diri pada prinsip kausalitas, Islam mempunyai suatu keyakinan bahwa ilmu pengetahuan yang hanya bersandarkan kepada hukum kausalitas tidak dapat dianggap sebagai suatu ilmu pengetahuan yang bernilai, karena menghindarkan diri dari pembahasan terhadap Sang Maha Pencipta.

Ilmu pengetahuan moderen sekuler tidak menjelaskan sama sekali tujuan penciptaan dan keteraturan alam semesta. Keyakinan ini bertentangan dengan Islam, karena dalam Islam penciptaan alam mempunyai tujuan. Penciptaan langit dan bumi misalnya, berhikmah betapa besar kekuasaan dan keagungan Allah. Jelas pula Islam mengajarkan bahwa sesungguhnya semua ciptaan Allah di alam ini tidak ada yang sia-sia.

Ketiga, ilmu pengetahuan dikembangkan atas dasar manfaat dan pengabdian kepada Allah. Menurut Islam, ilmu harus dikembangkan dalam rangka untuk mengabdi kepada Allah dalam pengertian yang luas. Ilmu pengetahuan harus sanggup menjadi wahana bagi manusia untuk tunduk kepada Allah. Pengembangan ilmu pengetahuan harus terarah kepada nilai-nilai kemanusiaan dan pengabdian kupada Allah. Al-Qur’an menyatakan bahwa tidak diciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepada Allah.

Berdasarkan kriteria di atas, terdapat perbedaan nilai ilmu Islam dengan nilai ilmu pengetahuan moderen sekuler. Perbedaan yang sangat mendasar menyangkut kegunaan ilmu. Sementara aksiologi ilmu sekuler mendasarkan pada prinsip pragmatis-utilitarian, Islam mendasarkan aksiologinya pada masalah-masalah kimanan. Kriteria nilai ilmu yang berguna menurut Islam harus: (a) dapat meningkatkan pengetahuan manusia tentang Allah, (b) efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan tujuan-tujuannya, dan (c) dapat memecah¬kan berbagai masalah praktis umat.

Aksiologi ilmu Islam juga sangat erat kaitannya dengan pandangan ukhrawi. Ilmu, selain dapat dinilai dari segi kegunaannya di dunia, juga harus bernilai guna dari segi keakhiratan.

Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia, dan tidaklah baginya kebaikan di akhirat. Dan di antara mereka ada yang berdo'a "ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dad siksaan api neraka" (Q.S. al-Baqarah:200).

Allah menegaskan bahwa segala ikhwal yang berpaling kepada akhirat, lebih tinggi dan abadi dibanding segala ikhwal yang berpaling kepada dunia. Islam menekankan bahwa nilai yang berorientasi kepada akhirat memang lebih utama, tetapi tanpa meninggalkan nilai keduniawian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aksiologi ilmu Islam memiliki cara pandang yang lebih jauh untuk kemasyarakatan umat manusia, mensinergikan nilai duniawi dan ukhrawi secara simultan.

4 komentar:

  1. Salam. Artikel yang sangat bagus. Sebagai perbandingan, saya juga mempunyai artikel yang mendiskusikan filsafat ilmu )ontologis, epist dan aksiologis) dan perspektif Barat dan Islam. Silahkan klik http://khudorisoleh.blogspot.com/2009/05/filsafat-ilmu.html

    BalasHapus
  2. Saya sangat menyambut baik konsep Prof. diatas, kita memang harus menuliskan sendiri takdir keilmuan kita sebagai muslim dengan membangun paradigma keilmuan yang tentunya berbeda dengan barat yang selalu dianggap menajadi pemerintahan terakhir dari sejarah keilmuan manusia hari ini, karena seyogyanya revisi terhadap temuan ilmu pengetahuan dan memunculkan tawaran baru bangunan keilmuan baru adalah hal yang sangat biasa dalam dunia keilmuan.Tetapi ada beberapa pemikiran dalam membangun paradigma keilmuan Islam. 1. Harus sensitif dan menhindari betul kesan pembajakan pengetahuan, misalnya tidak serta merta mengatakan bahwa epistemologi pengetahuan barat adalah "Islam" juga, sehingga terkesan akuisisi hasil ilmu pengetahuan. 2. Islam adalah agama "Rahmatan Lil Alamin", sehingga dalam mengkonsepsikan bangunan keilmuan Islam harus bisa memayungi seluruh ciptaan Allah baik manusia, hewan, tumbuhan dan mahluk lainnya. 3. Pikiran manusia terus berkembang, maka membutuhkan konsep keilmuan yang tidak terbatas, hal ini bisa dilakukan hanya dengan menjadikan konsep ketuhanan Allah itu sendiri sebagai dzat yang maha tidak terbatas dan maha tak terkejar sebagai landasan keilmuan, tetapi masalahnya bagaiamana menjelaskanya?

    Hormat Saya Prof!

    Karim Ahmad Gibran

    BalasHapus
  3. good idea prof. sangat membantu pada mata kuliah filsafat di bangku kuliah.syukron

    BalasHapus
  4. terima kasih prof, sangat membantu

    BalasHapus